Lihat ke Halaman Asli

Hati yang Kekeringan

Diperbarui: 7 November 2015   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarau panjang telah datang membuat seisi dunia kekeringan, begitupun hati. Iya, sudah beberapa hari ini aku menahan rindu dalam sesak. Kau pecundang, membiarkan aku tertekan menahan rasa. Seperti tanpa hati kau tinggalkan semua kenangan kita yang sudah menumpuk hingga tak bisa lagi aku menceritakan satu persatu. Persetan dengan semua ucapan manismu dulu, sekarang bahkan lebih pahit daripada secangkir kopi tanpa gula. Menyesal. Lelah. Hati dan perasaanku teraduk rata, aku terguncang dengan segala ucapanmu yang membuatku benar-benar mati rasa. Kau boleh bermain hingga lupa waktu, mengabaikanku, bahkan kau boleh melupakanku dalam waktu lama, terlalu jauh kau bermain sampai kau lupa hati tak selayaknya bisa kau permainkan sesukamu. Mempermainkan hati, tak pernah selucu itu.

Jujur saja, aku mengikhlaskan semua kenangan yang sebenarnya sudah tak sepatutya kuingat. Tapi aku bosan menanggapi semua pertanyaan bodoh mengapa kita seperti ini. Cinta memang sulit ditebak, karena segala sesuatunya terpaku pada kemauan TUHAN, sekalipun aku mendorongmu terus hingga depan keluargaku jika Tuhan berkehendak tidak,aku bisa apa? Membentak Tuhan dengan kalimat hina? Atau berkali-kali berteriak bahwa semua ini tidak adil?. Jangan pernah menuntut untuk kembali, karena ini sudah jalanNya. Dan kita hanya bisa menikmati segala prosesnya, meresapi setiap kejadian yang mungkin suatu waktu bisa diceritakan dengan indah.

Memang kehidupan berjalan maju, tapi tidak untuk kenangan. Saat ini airmata rasanya sudah habis menangisi setiap langkah kepergianmu. Yang semakin hari langkah kakimu semakin jauh, jangankan untuk berhenti, menoleh untuk berbincangpun kau begitu acuh. Memang cinta tak pernah punya kisah yang selalu sempurna, namun setidaknya kita pernah saling membahagiakan.

Saat ini sepertinya terlalu kejam jika aku memanggilmu dengan sebutan “mantan”, karena di mata mereka kata itu begitu hina untukmu yang pernah membuat senyum di bibir tipisku. Aku masih ingat ketika kita tertawa di kala hujan turun begitu deras, bahkan gemuruhpun kalah dengan tawa kita yang semakin kencang. Aku tak pernah menuntutmu untuk kembali di masa itu, masa dimana kita bersama, masa dimana kebahagiaan itu tercipta. Aku terlalu santai, sampai aku lupa bahwa setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Saat ini aku tak bisa mengharapkan apapun darimu, kau telah pergi dan membuat pernyataan pada mereka bahwa ini adalah salahku, akulah penyebabnya.Mereka menghujatku tanpa mereka tahu bahwa keputusan pasti butuh alasan. Aku tahu bahwa waktu tak pernah bercerita tentang kejadian yang sama. Aku punya cerita, dan hanya aku dan Tuhanku yang tahu.

Segala yang aku lakukan adalah rencana Tuhan, lantas apa hak mereka ? ini rencana hidupku bersama Tuhan dan mereka tak ada hak untuk mengatur ulang rencanaku. Sekarang rindu ini tak bertuan, tertuang begitu saja bersama rasa yang bertebaran. Namun aku merelakan apa yang bukan menjadi hakku, dan itu kamu. Terimakasih~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline