Lihat ke Halaman Asli

Gani Sipayung

Wirasawasta

Mengenal Paganisme, Agama atau Budaya ?

Diperbarui: 21 Januari 2025   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam sejarah, istilah Paganisme pertama kali digunakan oleh komunitas Kristen awal pada abad ke-4 guna membedakan ajaran iman Kristen dengan penganut praktik dan tradisi para pemuja dewa. Sejak saat itu, pagans atau paganus menjadi salah satu kategori pembeda yang penting di dalam proses Kristenisasi di luar Eropa. Bahkan kalangan Kristen menganggap bahwa Paganisme adalah kepercayaan yang sesat, berperilaku yang barbar, dan terbelakang.

Berbeda dengan pendapat Graham Harvey dalam bukunya What do Pagans Believe? (Granta Books, 2027), bahwa Pagan bukanlah sebuah kepercayaan atau agama, tetapi kultur sekelompok tertentu (yang awalnya diam dalam satu tempat tertentu) yang mempercayai bahwa seluruh unsur alam memiliki kekuatan magis dan sakral, sehingga dalam waktu tertentu kaum Pagan melakukan perayaan-perayaan dengan ritual-riual sakral nan magis dengan tujuan menghormati dan berkomunikasi dengan arwah leluhur/nenek moyang kaum Pagan.

Menurut Graham, puncak kepercayaan Pagan ialah doktrin kepercayaan bahwa semua unsur material alam memiliki "sesuatu kekuatan" dibaliknya dalam bentuk "spirit" atau roh, dan roh itu merupakan manifestasi dari  Dewa dan Dewi. Kaum Pagan mempercayai Dewa- dan Dewi sebagai "creator" dan kompeten mengatur dimensi alam yang dibidanginya, seperti musim, kesuburan tahah, hoki, keberuntungan, hingga stabilitas kehidupan alam dan manusia. Komunitas Pagan bisa berbeda di berbagai tempat-misalnya di Eropa, Asia, Timur Tengah, Amerika, Afrika, namun secara konsep, tujuan praktik dan ritual magis hampir memiliki kesamaan.

Dalam sejarah perkembangan agam Kristen, terjadi konflik dan perbedaan pandangan, yaitu dengan pengkultusan simbol-simbol atau ikon tokoh-tohoh Gereja sebagai orang-orang suci di Gereja yang masuk dalam inti ajaran dan inti liturgi Gereja. Sebagaian kalangan Gereja menilai hal ini sebagai "penyesatan" dan keluar dari doktrin Alkitab, namun pihak lain mengganggap sebagai hal yang berbeda. Puncaknya pada abad ke-16, terjadinya reformasi Kristen (kemudian menyebut mereka sebagai kaum Kristen Protestan) yang melakukan dekrit untuk terpisah dari kaum Katolik.

Pada dekade ini, orang-orang secara terbuka telah berani mempublikasikan identitas mereka sebagai penghayat kepercayaan Pagan atau Paganisme, sehingga paganisme telah dianggap sebagai sebuat aliran kepercayaaan yang berbeda dengan aliran kepercayaan lainnya. Pusat kepercayaan Paganisme adalah Dewa dan Dewi atau Roh Leluhur yang diyakini bisa maha hadir melalui material-material nyata di alam semesta, bukan berpusat kepada doktrin Allah. Selain itu, paganisme sangat kental dengan dinamika ritual-ritual magis dan kepercayaan kepada intervensi roh leluhur atau nenek moyang. Ritual magis neo-pagans kini menjadi daya tarik dan dianggap klasik (langka). Kaum Viking di Islandia, kaum Druid di Inggris, kaum Wiccan di Amerika, kini mereka telah tersebar menjadi neo-pagans yang modern, bahkan sebagian harus masuk dalam agama-agama samawi akibat perkawinan dan lainnya.

Di Indonesia sendiri, keanekaragaman suku dan budaya dari berbagai pulau di Nusantara, memiliki ragam kultur dan kepercayaan lokal, berangkat dari latar belakang multi budaya inilah bersatu dalam kerangka Indonesia dan Bihnneka Tunggal Ika. Praktik pagans praktis masuk dalam kerangka budaya lokal. Perkembangan 6 agama yang diakui di Indonesia tentu tidak bisa lepas dari pengaruh praktik pagans, karena perkembangan agam di Indonesia umumnya masuk melalui pintu budaya.

Neo-pagans berdiri diatas perpaduan budaya modern dan perkembangan ajaran doktrin agama. Dan bisa dipastikan, tantangan terbesar bagi doktrin agama dewasa ini adalah tantangan doktrinisasi faktual budaya modern dan global. Beberapa tokoh agama dan kalangan di Indonesia pernah mengatakan tentang penurunan mental dan moralitas generasi muda Indonesia. Betul ? Lalu apakah hal ini memiliki hubungan/korelasi dengan pengaruh praktis neo-pagans ?

Orang masa kini cenderung melihat praktis hidup yang kurang tertarik dengan ikatan doktrin dan praktis nilai-nilai agama adalah sebagai penghayat atheisme, yaitu yang berorientasi kepada dunia nyata, materialistis, hedons, dan lainnya. Atau sebaliknya, banyak orang terlihat agamais namun mempraktikkan kombinasi nilai-nilai agama dan neo-pagans, atau dengan kata lain, satu sisi seseorang bisa menjalankan doktrin ajaran agama dan disisi lain juga mengakomodasi nilsi-nilai ajaran leluhur yang percaya kepada kekuatan material dan roh-roh nenek moyang/leluhur.

Menurut saya, kita tidak bisa dengan gamblang mengatakan atau membedakan sebuah keyakinan neo-pagan atau tidak. Namun saya hampir bisa memastikan jika seseorang masih meyakini dan atau bahkan masih aktif melakukan ritual-ritual magis kepercayaan yang berhubungan dengan dewa atau arwah leluhur, meskipun secara harafiah mereka sebagai seorang yang beragama, maka seseorang itu dekat dengan keyakinan neo-pagans.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline