Nama Rondahaim Saragih Garingging alias Tuan Namabajan (buruk rupa) tentu sudah tidak asing lagi bagi kalangan masyarakat Simalungun. PemKab Simalungun bahkan telah mengabadikan nama Pahlawan ini pada RSUD Tuan Rondahaim Saragih. Sedangkan di Kota Pematang Siantar (yang sebelumnya perbah sebagai Ibukota Kabupaten Simalungun sebelum berpindah ke Pamatang Raya) nama Tuan Rondahaim Saragih diabadikan sebagai nama jalan.
"Atas perjuangan luhur dan panyang menyerah Tuan Rondahaim, masyarakat Simalungun terus memperjuangkannya untuk mendapat gelar pahlawan nasional," kata Sarmedi Purba, Ketua Lembaga Budaya Partuha Maujana Simalungun (PMS). Dalam era Presiden BJ Habibie (1999) pernah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Jasa kepada Rondahaim pada 13 Agustus 1999. Dan sejak Tahun 2010 Tahun ini, Gubernur Sumut turut mendukung dan merekomendasikan Rondahaim mendapat gelar Pahlawan Nasional secepatnya. Konon sudh diusulkan berpuluh tahun, namun belum ada titik cerah.
Salah seorang keuturnan Tuan Rodahaim Saragih (1828-1891), bernama Lukman Rudi Saragih Garingging (56), cicit dari Rondahaim, mengatakan, Rondahaim Saragih tercatat sebagai raja ke-14 di Partuanon Raya. Kala itu, pusat kekuasaan kerajaan itu berada di wilayah yang saat ini menjadi Kecamatan Raya, ibu kota Kabupaten Simalungun. Lukman Rudi menyebut, Rondahaim Saragih sangat menyadari taktik pecah-belah "devide et impera" kolonial Belanda. Belanda berhasil memecah belah kerajaan-kerajaan di Simalungun sehingga terjadinya perang saudara.
Rondahain Saragih dengan giat melakukan mobilisasi dan diplomasi untuk mempersatukan raja-raja di wilayah Simalungun, yakni Raja Siantar, Bandar, Sidamanik, Tanah Jawa, Pane, Raya, Purba, Silimakuta, dan Dolok Silau. Rondahaim Saragih akhirnya memebentuk membentuk milisi/pasukan tempur dengan dipimpin Panglima Besar Torangin Damanik yang berasal dari Kerajaan Sidamanik, untuk melakukan perlawanan kepada kolonial Belanda. Sebuah kisah heroik terkenal adalah ketika Tuan Rondahaim Saragih dan pasukannya menyerang dan menghancurkan Markas dan Tangsi Militer Belanda di Serbelawan.
Pada Tahun 1891, Tuan Rondahaim Saragih meninggal dunia, dan sejak itu perlawanan terhadap kolonial di Simalungun hampir tidak ada lagi. Partuanon Raja dipimpin Sumayan Tuan Hapoltakan Saragih Garingging (putra Tuan Rondahaim), seorang yang takluk kepada pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1900, kolonial Belanda telah menguasai semua Nagori di Simalungun dan dijadikan lahan perkebunan. Raja-raja dan Tuan-tuan di Simalungun di pecah-belah, dilemahkan kekuasaanya, serta diberikan pampasan koloni, dan hanya tunduk kepada kepentingan kolonial Belanda.
Hal ini kemudian menjadikan rakyat Raja-raja di Simalungun berontak akibat perbuatan Belanda, menganggap para Raja-raja dan Tuan-tuan Nagori telah menjadi antek-antek kolonial Belanda, yang diperkaya Belanda, sementara rakyat hidup dalam sengsara. Hal ini diperparah lagi dengan imigrasi besar-besaran orang-orang non-Simalungun yang dilakukan kolonial Belanda ke tanah Simalungun, sehingga dibawah kendali Belanda para imgran ini merampas dan menguasai tanah-tanah rakyat Simalungun dan Raja-raja atau Tuan-tuan Nagori tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Seorang tokoh Nasional sekaligus mewakili tokoh Masyarakat Simalungun, Prof Bungaran Saragih, di Jakarta mengatakan bahwa usulan menjadikan Tuan RondahaimSaragih Garingging sebagai Pahlawan Nasional harus kuat dari daerah (Simalungun dan Sumatera Utara), sehingga Pahlawan Nasional yang datang dari daerah sebagai sumbangsih daerah untuk NKRI, membangun Indonesia. Dengan arti, beliau sangat berharap kepada totkoh-tokoh dan Pemerintah dari daerah Kabupaten Simalungun dan Sumatera Utara untik terus melakukan upada yang kuat dan konsisten kepada Pemerintah Pusat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H