Belakangan ini dunia maya dihebohkan oleh postingan pada media sosial (instagram) yang memperlihatkan pertunjukkan Fireworks atau Kembang Api yang dihidupkan secara bersamaan dengan upacara masyarakat Hindu Banjar Tegal Gundul di Pantai Berawa pada hari Minggu, 13 Oktober 2024.
Sekilas terlihat pada video, stand kembang api diletakkan sekitar 5 meter dari tempat pemangku yang akan memandu upacara dan dihidupkan tepat saat pemangku sedang menghaturkan banten upacara. Tentunya cuplikan video ini mengundang beragam komentar buruk dari netizen yang menyalahkan pihak beach club (Finns Beach Club) yang menghidupkan kembang api saat upacara keagamaan tengah berlangsung. Kejadian ini dinilai tidak menghargai masyarakat Hindu setempat yang sedang melaksanakan upacara di pantai.
Adanya kejadian seperti ini telah mencoreng harga diri masyarakat Bali karena merasa terganggu, tidak dihargai dan nilai "sakral" yang ada didalamnya seketika hilang begitu saja. Meski sebelumnya telah dilakukan negosiasi antara Prajuru Adat dan masyarakat Banjar Tegal Gundul dengan pihak Finns Beach Club, namun ternyata usaha ini tidak menemukan jalan keluar. Justru pihak beach club tidak bersedia untuk menunda sebentar acaranya dan memilih untuk tetap melanjutkan pertunjukkan kembang api tersebut. Pihak beach club mengatakan bahwa acara ini sudah terjadwal, para tamu sudah tahu, dan ada DJ hitung mundur.
Meski begitu, bukankah alasan itu juga dapat digunakan oleh masyarakat Hindu yang melakukan upacara keagamaan? Karena mereka pun melakukan rangkaian kegiatan upacara dengan segala perencanaan dan tanpa hal yang mendadak. Lagi pula, pantai bukanlah hak milik dari suatu pihak tertentu. Siapa pun dapat menggunakan pantai dengan sebaik mungkin dan sesuai dengan kebutuhan masing - masing.
Dalam ajaran agama, Umat Hindu mengenal istilah "Tri Hita Karana" yang mana berarti tiga hubungan harmonis antara manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Mereka yakin bahwa keharmonisan dapat hadir jika kita bisa membangun hubungan baik dengan tiga hal utama tersebut. Umat Hindu selalu menerapkan hubungan baik terutama kepada alam. Ada begitu banyak upacara kepada alam yang selalu mereka lakukan seperti Nyegara Gunung, Melasti, Tumpek Landep dan lain sebagainya yang masih diterapkan sampai saat ini. Mereka percaya bahwa semua berawal dari-Nya dan kembali kepada-Nya. Apa yang dititipkan kepada manusia di bumi hanyalah bersifat sementara dan perlu di jaga dan dirawat sebaik mungkin. Namun, karena perkembangan zaman yang begitu pesat, menjadikan alam sebagai objek wisata yang hanya diperuntukkan demi keuntungan segelintir pihak elite tanpa memikirkan dampak negatifnya yang akan dirasakan langsung oleh masyarakat setempat.
Pada konteks ini, pantai digunakan oleh masyarakat sebagai tempat suci untuk melaksanakan upacara keagamaan khususnya yang berkaitan dengan peleburan. Sedangkan, bagi pelaku usaha pantai bertujuan sebagai tempat yang dapat dimanfaatkan keindahannya dan dijadikan sebagai ladang bisnis. Maka tak heran jika kita sering melihat kegiatan upacara keagamaan dan objek wisata dilakukan secara berdampingan. Tidak jarang pada beberapa kesempatan mereka menjadi kombinasi bagus yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Seperti upacara keagamaan Hindu di Bali dapat di kenal luas oleh para wisatawan yang sedang berlibur di objek wisata dekat pantai. Sesungguhnya kita bisa melihat sisi positif dari adanya objek wisata di pantai namun terkadang ini bisa menjadi pisau mata dua bagi mereka yang lalai saat memegangnya.
Melihat kejadian ini, dapat kita saksikan bersama bahwa dunia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat bahkan sampai memandang sebelah mata tradisi dan budaya yang ada. Bukankah seharusnya sebagai umat manusia yang memiliki akal dan budi pekerti dapat berpikir mana hal yang baik dan buruk? Tapi ternyata kelebihan itu tidak dimanfaatkan dengan baik oleh manusia masa kini.
Seperti kata pepatah, "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" yang memiliki makna bahwa seseorang harus menghormati dan mengikuti adat istiadat yang berlaku di tempat tinggalnya. Tetapi dalam kasus ini sudah jelas pihak beach club tidak menerapkan makna dari pepatah ini. Meski pada akhirnya pihak beach club telah meminta maaf kepada masyarakat setempat atas kelalaian yang telah mereka buat. Namun alangkah baiknya jika mereka bisa menghargai masyarakat setempat dengan memberikan permakluman kepada para tamu bahwa sedang diselenggarakan upacara adat yang hanya berlangsung sebentar. Atau pihak beach club dapat memberi alternatif hiburan yang sekiranya dapat menghibur para tamu tetapi hiburan tersebut tetap menghargai masyarakat yang sedang melakukan upacara keagamaan. Sehingga dengan upaya ini diharapkan dapat mencegah terjadinya konflik yang tidak diinginkan dan keharmonisan antar kedua belah pihak dapat terjalin dengan baik. Semoga dengan adanya kejadian ini dapat menjadi pembelajaran bagi pelaku usaha untuk lebih menghargai adat istiadat dan tradisi yang berlaku di lingkungan sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H