Lihat ke Halaman Asli

Ganesha Siti Fariza

Universitas Indonesia

Dinamika Diplomasi: Perubahan Posisi Australia dalam Konflik Israel-Palestina

Diperbarui: 11 Desember 2024   21:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ABC Australia

Konflik Israel-Palestina merupakan sebuah konflik yang tidak dapat terselesaikan hingga kini. Pada 7 Oktober 2024 lalu, terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Tel Aviv di wilayah Palestina, Gaza yang bertujuan untuk menghabisi milisi Hamas. Akar sejarah yang panjang dan rumit membuat konflik ini tidak dapat mencapai konsensus (Sorongan, 2023). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai lembaga internasional memiliki peran penting dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia. PBB telah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik Israel Palestina. Salah satunya resolusi 181 pada tahun 1947 yang dimana PBB mencoba untuk mencapai konsensus dengan solusi dua negara, namun hal tersebut tidak diterima oleh Pihak Palestina dan kembali memicu terjadinya konflik (United Nations, 2023). 

Hubungan erat yang dimiliki antara Australia dan Israel telah terjalin lama, namun posisinya terhadap konflik Israel-Palestina mengalami perubahan yang dinamis. Pada resolusi PBB sebelumnya, Australia seringkali abstain atau mendukung yang menguntungkan pihak Israel. Namun, kini pemerintah Albania telah mengambil langkah lebih tegas dalam mendukung hak-hak, kedaulatan dan negara Palestina. Pada Oktober 2022, pemerintah Albania mencabut pengakuan koalisi sebelumnya atas Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel. Selain itu, pemerintah juga mendukung resolusi PBB yang mengkritik kebijakan permukiman Israel, meningkatkan kontribusi UNRWA dari AU$10 juta menjadi AU$20 juta, serta kembali menggunakan istilah "Wilayah Palestina yang Diduduki" untuk merujuk pada Tepi Barat dan Gaza (Napach, 2024). 

Australia kini secara resmi telah memberikan dukungan terhadap resolusi PBB yang mengakui 'kedaulatan permanen' rakyat Palestina atas sumber daya alam di wilayahnya. Langkah ini mencerminkan perubahan besar dalam kebijakan negara tersebut (Ridhotulloh, 2024). Australia menjadi salah satu negara dari 158 negara yang telah memberikan suara mendukung resolusi tersebut, termasuk Inggris dan Selandia Baru. Terdapat 7 negara lainnya abstain dan delapan negara menolaknya, termasuk AS dan Israel (North America Correspondent Barbara Miller, 2024). Resolusi yang telah tertuang telah diajukan ke Majelis Umum PBB dan menandai pertama kalinya Australia memberikan dukungan resolusi kedaulatan permanen sejak dua dekade lalu (Ridhotulloh, 2024). 

Langkah International Criminal Court (ICC) yang mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan menempatkan Australia dalam posisi yang signifikan. Sebagai pihak dalam ICC, Australia terikat secara hukum untuk menangkap keduanya jika memasuki wilayahnya. Situasi ini menggarisbawahi tantangan diplomatik dan hukum yang dihadapi Australia dalam menyeimbangkan komitmennya terhadap keadilan Internasional dan hubungan strategisnya dengan Israel (North America Correspondent Barbara Miller, 2024). 

Melalui juru bicara Menteri Luar Negeri Penny Wong, walaupun Australia tidak sepenuhnya mendukung setiap detail dalam resolusi PBB tersebut, keikutsertaannya dalam pemungutan suara mencerminkan keprihatinan negara Palestina terhadap tindakan Israel yang dinilai melanggar hukum internasional. Kekhawatiran ini mencakup aktivitas seperti pembangunan permukiman ilegal, pengambilan paksa tanah hak milik Palestina, serta tindakan kekerasan yang dilakukan masyarakat Israel terhadap Palestina (Ridhotulloh, 2024). Wong juga menekankan bahwa perilaku seperti ini juga akan menghambat peluang mencapai solusi dua negara, yakni visi perdamaian yang melibatkan pembentukan negara Israel dan Palestina. Adanya resolusi yang dirujuk oleh Wong menegaskan kembali pentingnya solusi dua negara, seperti yang telah ditetapkan dalam berbagai resolusi Dewan Keamanan PBB sebelumnya dan menyerukan dukungan internasional (Rosdalina, 2024). 

Australia menyarankan agar Dewan Keamanan PBB dapat meninjau kembali masalah ini. Hasil pemungutan suara di Majelis Umum PBB menunjukkan dukungan luas bagi Palestina untuk menjadi anggota penuh, dengan 143 negara mendukung, sementara hanya 9 negara termasuk AS dan Israel yang menentang dan 25 negara Abstain. Meskipun keputusan ini mencerminkan pengakuan internasional yang signifikan terhadap hak Palestina, status Palestina masih sebagai negara pemantau non-anggota (CNN Indonesia, 2024). 

Frances Albanese, seorang pelapor khusus PBB mengemukakan bahwa hasil penyelidikan yang telah ia lakukan selama satu tahun kebelakang, secara tegas menunjukkan adanya genosida di Gaza yang dilakukan oleh Israel. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Albanese pada 18 November 2024 di parlemen Spanyol. Banyak dokumentasi yang diabadikan oleh Albanese terkait Israel melakukan genosida di Palestina, salah satunya terkait operasi penghancuran yang sifatnya intensif. Pada 19 Juli, ICJ  menegaskan bahwa Palestina yang diduduki ---seperti Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur---merupakan satu kesatuan teritorial yang tidak boleh dipecah atau diperlakukan sebagai entitas terpisahkan. Selain itu, Albanese menegaskan bahwa semua negara anggota PBB wajib mematuhi ICJ dan apabila terdapat negara yang menjalin hubungan perdagangan senjata terbukti melakukan genosida yang melanggar prinsip-prinsip dalam piagam PBB (Rosdalina, 2024). 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline