Lihat ke Halaman Asli

Kemunafikan Politik

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam suatu kesempatan Pramudya Ananta Toer pernah berkomentar, “Masyarakat Indonesia itu hipokrit.” Tentu ini adalah sebuah komentar yang amat pedas dan sepertinya menggeneralisir bahwa kemunafikan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Namun, bila ditelaah dan direnungkan secara lebih mendalam, apa yang disampaikan sastrawan kebanggaan nasional ini sulit untuk diingkari kebenarannya. Beragam bentuk kemunafikan dapat dengan cukup mudah kita jumpai di semua kalangan, terutama di kalangan elit politik.

Kemunafikan biasanya dipahami sebagai sikap berpura-pura percaya atau setia kepada sesuatu (agama atau kepercayaan, misalnya), tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak. Seorang munafik adalah seorang yang suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya; ia bermuka dua. Kemunafikan tak lepas dari persoalan hati. Karena hati mempunyai karakter tidak konsisten, disebabkan ia bisa terkena konflik batin. Kadar kandungan hati dapat berubah-ubah, terkadang didominiasi oleh satu dua hal, di lain waktu dikuasai oleh dua hal yang lain, dan suatu saat bisa dipenuhi oleh berbagai hal yang tidak dominan atau bahkan kosong. Intinya, kemunafikan adalah sikap tercela yang dibenci agama karena unsur utama dari kemunafikan adalah ketidakjujuran.

Kalau kita jeli, festival kemunafikan cukup mudah ditemukan di berbagai bidang kehidupan. Contoh, biaya resmi pengurusan KTP di seluruh provinsi di Indonesia biasanya sangat murah, bahkan di beberapa daerah malah gratis. Paling mahal lima ribu rupiah. Kenyataannya, sangat sedikit orang yang membayar sesuai dengan ketentuan. Lebih banyak orang yang membayar puluhan bahkan ratusan ribu untuk sebuah KTP yang ketentuan pembayarannya tidak lebih dari lima ribu rupiah. Ini bukti bahwa kebanyakan pemerintah daerah munafik. Mengapa tidak menetapkan harga yang lebih pantas (misal 20 ribu), namun dengan jaminan pelayanan yang prima, ketimbang menggratiskan atau mengutip bayaran sangat murah tetapi pada prakteknya tidak dijalankan dengan semestinya. Akibatnya, pelayanan bertele-tele dan birokratis hingga akhirnya memunculkan celah bagi “oknum” untuk memaksakan pungutan yang jauh lebih besar ketimbang biaya resmi yang ditetapkan.

Contoh lain, biaya perkara di pengadilan. Masih ingat kasus Susno Duadji, jendral yang sempat buron karena menganggap putusan kasasi yang diterimanya tidak mencantumkan perintah penahanan terhadap dirinya. Dalam putusan itu, Susno “hanya” diwajibkan membayar biaya perkara. Anda tahu, berapa biaya perkara yang harus ia bayar? Rp. 2.500. Ya, hanya seharga dua batang rokok kretek merek ternama. Bagaimana mungkin kasasi yang memakan waktu berbulan-bulan, bahkan dalam banyak kasus lain sampai tahunan, hanya menghabiskan biaya seharga air mineral botolan? Ini bukti lain kemunafikan negara yang tidak pernah menyesuaikan nilai riil biaya perkara pengadilan. Bagi orang yang pernah terlibat secara langsung dengan pengadilan akan tahu bahwa untuk mendapat salinan keputusan, pihak yang berperkara harus membayar jutaan rupian kepada “oknum”. Tanpa uang pelican yang memadai, jangan harap salinan keputusan ini akan didapatkan. Ini bukti kemunafikan yang umum terjadi di lingkungan peradilan.

Dalam kancah perpolitikan saat ini, praktek kemunafikan nampuk jauh lebih mengkhawatirkan. Para elit politik tanpa malu berkoar-koar tentang kepentingan rakyat dan selalu mengklaim betapa besar perjuangan dan pengorbanan mereka demi rakyat. Kenyataannya kegarangan dan keberanian mereka menekan penguasa (eksekutif) adalah upaya terselubung yang sistematis untuk mengeruk APBN demi pundi-pundi dan lumbung kekayaan mereka. Di televisi dan media lain, para politisi munafik ini bersilat lidah dengan mengatasnamakan rakyat. Di balik layar, perilaku mereka korup dan serakah. Bila perlu mereka membawa-bawa bendera agama untuk memuluskan perilaku korup tersebut. Kasus pengadaan Alquran di Kementrian Agama dapat dijadikan contoh yang akurat. Bayangkan, sebuah kementrian yang menangani persoalan moral dan dimaksudkan untuk menanamkan dan mempraktekan nilai-nilai keagamaan ternyata menjalankan tata kelola yang korup.

Bukti kemunafikan politik lain yang mencengangkan semua pihak adalah kasus kuota impor daging sapi yang pertengahan Juni ini akan segera disidangkan. Bagaimana mungkin seorang pemimpin partai bernafaskan agama dan dikenal sebagai seorang pendakwah yang dihormati jutaan umatnya didakwa melakukan persekongkolan korup demi kenikmatan duniawi semata? Tambahan pula, kasus ini diberi bumbu sampingan yang melibatkan para perempuan cantik yang juga menyita perhatian publik. Hendak diletakkan di mana wajah ini? Barangkali, bila ini terjadi di Jepang, pemimpin semacam ini sudah melakukan harakiri. Persidangan nanti pasti akan lebih banyak membongkar kebobrokan dan kemunafikan para pelaku yang amat memalukan.

Contoh lain yang juga membuat logika publik sulit untuk mengikuti adalah penolakan PKS atas rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Bagaimana mungkin sebuah partai yang merupakan bagian dari koalisi pemerintah menolak kebijakannya sendiri? Bukankah PKS juga pemerintah karena mereka mewakilkan tiga kader terbaik mereka sebagai menteri dalam kabinet pemerintahan? Alasan apa pun yang dikemukakan PKS sulit untuk diterima akal sehat. Bahkan seandainya PKS mampu meyakinkan rakyat alasan mereka menolak kenaikan ini, logika rakyat akan menyikapi PKS sebagai Partai Kemunafikan Sejahtera. Kalau penolakan ini disebut sebagai upaya mendongkrak keterpurukan elektabilitas PKS akibat skandal korupsi impor daging sapi, justru ini semakin menguatkan kemunafikan PKS. Sentimen rakyat terhadap PKS semakin mengerucut menjadi sebuah partai munafik: mau nangkanya, tetapi tidak mau getahnya. Bukankah sifat yang hanya mencari enaknya dan tak mau bersusah payah merupakan pertanda utama dari seorang munafik?

Kemunafikan memang seringkali disamarkan dalam berbagai bentuk. Orang jahat sering berpura-pura baik dan ketika ia mendapatkan kesempatan, dengan mudah ia menjalankan niatnya. Mengetahui maksud sesungguhnya dari seorang politikus memang memerlukan pengamatan yang ekstra cermat. Ini terjadi karena politikus kita sudah begitu piawai dalam kepura-puraan sehingga sulit untuk tahu apakah yang dikatakan itu sungguh hal yang ia ingin lakukan atau hanya sebagai kamuflase untuk menarik simpati rakyat bak “serigala berbulu domba.”

Ingin membaca esai lain dan ingin belajar menulis esai? Kunjungi www.menulisesai.com.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline