Lihat ke Halaman Asli

Tahta untuk Rakyat

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kamis, 30 Agustus 2012, merupakan saat yang telah lama dinantikan oleh masyarakat Jogja khususnya dan masyarakat Indonesian umumnya. Setelah sepuluh tahun tertunda (baca: terbengkelai), RUU keistimewaan Jogjakarta ini akhirnya diputus lewat sidang paripurna di DPR yang relatif mulus tanpa interupsi yang berarti menjadi UU Keistimewaan Jogjakarta. Mengingat prosesnya yang begitu lama dan alotnya perdebatan tentang UU ini, pantaslah masyarakat Jogja berlega hati karena kekhawatiran akan kekosongan kepemimpinan di DIY dapat dipastikan dengan berlakunya UUK ini.

Sebelumnya, kita tentu masih ingat dengan tuntutan rakyat Jogja yang ngotot diberlakukannya cara penetapan bagi Sultan Jogja dan Sri Paduka Pakualam sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY. Berbagai elemen masyarakat Jogja begitu aktif menyuarakan dukungan mereka atas mekanisme penetapan ini. Secara pribadi maupun berkelompok, mereka melalukan beragam aksi (dari yang serius sampai banyolan dan parodi politik yang menggelitik) yang ditujukan kepada pemerintah pusat untuk memenuhi aspirasi mayoritas masyarakat Jogya. Dalam banyak hal, aksi-aksi tuntutan ini menunjukkan betapa masyarakat Jogja memang "istimewa" karena upaya yang mereka lakukan seringkali mendemonstrasikan kreatifitas yang tidak hanya menghibur tetapi juga mencerahkan pikiran. Sebagai contoh, isu tentang keistimewaan Jogja mampu diterjemahkan oleh Jogja Hip Hop Foundation yang menyampaikan aspirasinya lewat hip-hop Jawa yang orisinil. Atau pawai-pawai budaya yang unik dan menarik untuk ditonton. Lepas dari segala hiruk-pikuk yang sebelumnya mewarnai pengesahan UUK ini, ada beberapa hal yang patut kita cermati.

Pertama, UU Keistimewaan Jogja ini memerintahkan Sultan dan Sri Paduka Pakualam untuk tidak menjadi anggota partai politik untuk dapat ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur. Meskipun memunculkan pro dan kontra mengenai persyaratan ini, amanat dan semangat yang terkandung dalam UU ini patut diacungi jempol. Pasalnya, posisi gubernur yang dilekatkan pada kedudukannya sebagai raja Jogja merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Sebagai gubernur dan sekaligus Raja Ngayogyokarto Hadiningrat, Sultan harus nonpartisan. Beliau adalah pemimpin yang mengayomi seluruh rakyat Jogja yang majemuk tanpa melihat suku, agama, ras, aliran politik, dan kepercayaan mereka. Menjadi raja berarti menjadi junjungan dan sembahan dari semua rakyatnya. Kalau Sultan menjadi anggota atau bahkan menduduki posisi penting dalam salah satu partai politik, beliau akan cenderung memanfaatkan posisinya demi kepentingan partainya. Bisa jadi, posisinya yang kuat sebagai raja dan gubernur akan menimbulkan konflik kepentingan.

Kedua, UU keistimewaan Jogja ini semakin menegaskan gagasan yang telah dirintis oleh Sultan Hamengkubuwono IX bahwa tahta kesultanan Jogjakarta adalah tahta yang dipersembahkan untuk rakyat. Menjadi sultan Jogja berarti menomorsatukan kepentingan rakyat. Hal ini berarti bahwa anggapan yang selama ini dipercaya masyarakat luas bahwa feodalisme tumbuh subur di kalangan masyarakat Jawa dengan sendirinya dipatahkan. HB IX memelopori ide "tahta untuk rakyat" dengan kesadaran penuh bahwa kemakmuran dan kesejahteraan kesultanan Jogja sangat dipengaruhi oleh kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Bila rakyat makmur dan sejahtera, kesultanan pun akan makmur dan sejahtera. Begitu pula sebaliknya. Mengutamakan kesejehteraan dan kemakmuran rakyat adalah ideologi dan strategi jitu yang seharusnya dijalankan oleh seorang sultan untuk memimpin rakyat Jogja. Sebagai raja dan sekaligus eksekutif pemerintah daerah, beliau harus menjadi panglima untuk melayani dan mengayomi semua rakyat Jogja.

Pemberlakuan UU keistimewaan Jogjakarta tentu memberi optimisme dan harapan positif bagi seluruh rakyat Jogjakarta. Terutama bila dikaitkan dengan lepasnya keterikatan Sultan dengan partai politik. Setiap warga Jogja pasti berharap tahta yang melekat dalam diri kepala daerah akan dipersembahkan demi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline