Sejak engkau memutuskan untuk berpisah. Aku mulai berkemas dan pindah dari hatimu yang bercelah. Satu persatu pigura kenangan yang tergantung di dinding hatimu ku lepas, dan ku masukkan ke dalam Kardus bekas mie instan rasa sendu.
Pigura pertama adalah kenangan rasa hujan.
Mungkin engkau masih ingat saat kita melangkah bersama menuju sekolah, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Lalu kita berteduh di bawah atap yang sama, di sebuah pos ronda yang tak jauh dari gerbang sekolah.
Waktu itu jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi dan mungkin lonceng tanda masuk telah berdentang berulang kali. Aku memperhatikan wajahmu yang mulai cemas, karena takut terlambat dan sudah pasti diomeli wali kelas.
Sedangkan aku mulai memanjatkan do'a, agar langit terus menerus menumpahkan airnya. Biar kata terlambat tiba di sekolah. Aku mulai betah berlama-lama, berteduh berdua saja denganmu, di bawah atap yang sama disebuah pos ronda.
Jujur kacang ijo. Baru kali ini aku menyesali kebodohanku yang tak bisa mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia. Bukan karena tak suka. Melainkan lebih karena Pak Sinaga yang marah, gara-gara aku seenaknya mengganti nama Pak Sinaga menjadi 'Ular Sawah'.
"Bah..!" Katanya. "Mulai zaat ini, kau tak ku izinkan mengikuti pelazaranku zelama zatu bulan" Lanjut Pak Sinaga.
Bah...! Sekarang aku mulai merasakan akibatnya.
Bagaimana mungkin aku bisa menjadi playboy 'cap kaki tiga', kalau merayu saja aku tak bisa. Yah, itu... cuma gara-gara tak cukup banyak memiliki perbendaharaan kata, sehingga kesempatan langka seperti ini menjadi sia-sia. Sedangkan semua penghuni sekolah tahu, engkau lah bunga di atas meja. Eh, kembang kelas 1 IPA 2.
Sementara hujan masih turun dengan derasnya dan sudah pasti kita tidak hanya terlambat masuk sekolah. Mungkin sekarang kita malah ketinggalan dua jam pelajaran pertama sekaligus.
Hiks...