Lihat ke Halaman Asli

Kampung Kreatif “Taboo”: Lilin Kecil di Tengah Absurd Tata Transisi Kampung Kota

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Maen ke tempatnya kang Rahmat Jabaril, founder kampung kreatif “taboo”. Mantan aktivis era 98 ini akhirnya menetap si suatu kampung di dago pojok dan merubah kampung itu dari kampung preman menjadi berwarna, sangat mencolok dengan lukisan-lukisannya saat kami pertama kali tiba disana. FYI, taboo ini memang diambil dari kata tabu, yang diartikan jangan malas belajar. Disini juga beliau mendirikan sekolah persamaan satu-satunya yang gratis di bandung (hasil kerjasama beliau dengan pemerintah, ah yang tentunya orang seperti beliau ini sebenarnya agak segan bermain dengan pemerintah yang cenderung “kotor”). Jadi konsep kampung ini adalah semua orang di kampung ini dapat membangun kamungnya dengan cara yang dia sukai, yang sudah berjalan adalah muralnya.

Baiklah sebelum terlalu jauh ada baiknya kuceritai dulu latar belakang si akang ini akhirnya terjun di dunia “tanpa nama” seperti ini. Cerita berawal pasca 98, saat visi para penggerak hanya sampai disitu, turunnya presiden, saat visi pasca reformasi belum matang terbentuk, disaat para penggerak akhirnya berjalan di visinya masing-masing. Ada yang masuk ke pemerintahan setelah menggulingkan yang lama, ada yang ke jalur profesionalnya masing-masing, dan masih banyak lagi. Tetapi si akang tetap ada di jalan rakyat, dimana tujuan awalnya adalah revolusi (perubahan total, red), saat reformasi hanyalah step awal dari sang revolusi tersebut. Beliaupun mengutip kata-kata dari Ibnu Khaldun mengenai jalan yang dipilihnya, “Kalau mau tetap idealis, janganlah lepas dari segi kehidupan yang ada di masyarakat (seni, budaya, cara hidup, dll.”

Langkah pertama yang beliau lakukan setelah menetap di kampung tersebut adalah membangun sekolah gratis, yang terutama ditujukan untuk golongan yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah berbayar, ataupun masyarakat sekitar yang ingin belajar. Sekolah persamaan ini sudah sampai tingkat SMA, pengajarnya tentu dari relawan yang ada juga dari kalangan mahasiswa. Proses belajarnya dilakukan 1 minggu sekali, idealism ditetapkan disini, dimana anak yang ingin mendapatkan ijazah adalah orang yang ikut proses belajar, sehingga untuk menghindari kejenuhan hanya dilakukan dengan kuantitas tersebut (sesuai psikologi sasaran). Langkah kedepan adalah ingin membentuk Universitas dengan system yang lain, dimana belajar dilakukan dengan metode “ngobrol”, berjalan, dll. Langkah ini sudah didukung oleh 9 professor dari ITB, Unpad, dll. Note : metodenya mirip dengan Sekolah Garasi.

Bukan tanpa halangan, terpaan pertama datang dari orangtua anak-anak sekitar yang ikut belajar di tempat itu, dengan berbagai macam alasannya. Ada juga seorang intel yang sengaja tinggal di daerah sekitar untuk mengamati pergerakan si akang, ah bukan hanya itu, tetapi juga menyebarkan isu jelek, komunis dll, agar warga semakin menjauh. Cobaan pertama dilalui, masyarakat mulai dekat, RT, RW, dan DKM-pun mulai bersilaturahmi. Setelah itu, banyak LSM, jemaat keagamaan tertentu, dan lembaga "kepentingan" lainnya datang ke tempat tersebut dengan sejuta kepentingan mereka.

Pendekatan yang dilakukan oleh akang adalah pendekatan dengan pemuda setempat, yang memang lebih meudah didekati, dimana pemuda ini menjadi tangan kanan akang dalam berhubungan dengan bagian masyarakat yang lain. Gerakan awal yang dilakukan adalah dengan “melukis” kampung ini dengan tangan-tangan si pemuda tersebut. Tujuan utama si akang disini adalah menjaga budaya di kampung ini, menjadikan kampung ini sebagai tempat tinggal, rumah. Dimana “rumah” disini berfungsi sebagai tempat singgah, pendidikan, menjaga budaya dan tempat berkarya. Bukan seperti degradasi fungsi rumah di era urban saat ini, tempat transit. Maka dari itu pendekatan yang dilakukan adalah melalui kreativitas tradisional sebagai identitas asli masyarakat, missal kesenian reog, pembuatan bandrek, lukis, dll. Dari situ ingin ditumbuhkan kembali kebanggaan yang telah hilang pada nilai-nilai asli masyarakat, contoh yang serba barat itu keren dan harus diikuti. Hal yang digarisbawahi dari proses yang dilakukan selama ini adalah, advokasi yang akan merepotkan, kalau soal kreativitas akan mengalir dengan sendirinya.

Akang ini adalah aktivis penentang baksil yang akan “disalahgunakan” oleh pemerintah kota dengan system desentralisasinya. Dimana beliau memperjuangkan hutan kota sebagai bagian integral dari masyarakat. Polemik kepentingan, LSMpun terjadi disini, saat akang tinggal disitu selama 2 tahun. Ah cerita satu lagi tentang salah satu geng motor yang cukup tersohor di Bandung. Si akang berhasil memberi beberapa inovasi kegiatan geng ini ke arah yang lebih positif, seperti bakti sosial, nanam pohon, dll, intinya adalah kegiatan berbasis kemasyarakatan. Yah walaupun memang saat ini geng motor ini sudah bertransformasi ke jalan yang lebih legal, menjadi sebuah klub.

Nah sekarang saatnya ilmu-ilmu yang didapat dari jalan-jalan sore itu. Pertama, ada 5 hal penting yang harus dilakukan dalam proses masuk ke dalam suatu tatanan masyarakat.


  • Pemetaan politik. Masyarakat yang menjadi kader partai, RT, RW, preman daerah sekitar, ataupun kepentingan-kepentingan yang menyangkut masyarakat. Hal ini berpengaruh pada bagaimana cara kita memperlakukan si pemegang kekuasaan untuk masuk ke daerahnya, dan penentuan strategi pendekatan. Di kampung tadi contohnya akang mendekati pemuda-pemudanya sebagai penggerak di daerah itu.
  • Kultur yang ada di masyarakat. Misal, daerah ciroyom adalah kawasan yang heterogen, urban, dekat dengan stasiun dan pasar, sehingga orang di situ cenderung keras. Daerah cicadas, sesuia namanya, orangnya juga cadas, beda dengan ciroyom, masyarakatnya lebih homogeny, dll. Missal juga daerah dago pojok, transisi antara perkotaan dan kampung, dimana secara masyarakat dan geografis adalah daerah pinggir, tetapi akses dengan kota mudah dan banyak mahasiswa (orang kota) tinggal di daerah tersebut sehingga masyarakatnya “berjiwa kampung tapi berdandan ala kota”, penanganannya lebih terkomplikasi karena transisi budaya ini
  • Ekonomi
  • Tingkat Pendidikan
  • Pemetaan Teritorial. Batas-batas geografis per RT, RW, daerah kekuasaan preman, dll. Hal ini dilakukan agar proses birokrasi tepat ke penguasanya.


Disini kultur ditekankan sebagai dasar, sehingga kreativitas ataupun sistem akan mengalir dengan sendirinya sesuia kultur yang ada disitu. Dalam melakukan pendekatan secara personal, harus dilakukan pelan-pelan, metodenya disesuaikan dengan psikologi masyarakat. Pendekatan personal adalah dimana proses dilakukan pada sesuai dengan kondisi orang-perorang, melalui penyadaran. Harus dihindari pola yang menyamaratakan individu. Orang yang didapat memang bertahap, 1 orang, 2 orang, 3 orang dan seterusnya, disini kualitas dinomorsatukan. Kelurangannya adalah waktu, hal sulit yang dihadapi di tingkat mahasiswa yang singkat (kang rahmat melakukannya 7 tahun). Kang Rahmat menuturkan jika hal seperti ini jugalah yang dilakukan Rasulullah, Ketua Mao, ataupun Videl Castro.

Oh iya, budaya Indonesia itu budaya lisan, bukan budaya tulisan. disini dilihat dari banyaknya hasil kebudayaan yang diturunkan melalui cerita rakyat, lagu daerah, seni pementasan, tari-tarian, dan lainnya. Makannya, seharusnya cara pendekatan dan konten ini harus sesuai dengan akar budaya asli yang dimiliki masyarakat. ingat, konsepnya sistem akan kuat jika didukung kultur masyarakat yang ada di dalamnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline