Oleh; Abdul R Sutara
Artikel ini Disampaikan dalam acara Talk show “Islamic movie Day; Upholding Islamic Values as the Heart of New Movie GenerationApril 2012
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok.
(BAGIAN I)
Dear all.. sobat's KOMPASIANA.. ;)
Setelah cukup lama (hampir setahun) tidak aktif menulis di KOMPASIANA, kini saya hendak berbagi tulisan mengenai perfilman.
Foto koleksi AR Sutara
Sebelumnya, tulisan ini saya buat, saat saya berkesempatan diundang oleh
direktur perfilman Kementerian Pariwisata dan ekonomi Kreatif untuk mengisi talkshow “Islamic Movie Days; http://m.republika.co.id/berita/senggang/film/12/03/14/m0vou1-yuk-diskusi-dan-nonton-bareng-film-nabi-yusuf ” yang di Sponsori oleh Kedutaan besar Republik Islam Iran dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesi, hadir narasumber lain selain saya adalah; Aditya Gumay (Sutradara), Drs. Samsul Lusa (Direktur Perfilman RI) M Ali Rabbani (Konselor Budaya Kedutaan Besar Iran), dan Amarina Ariyanto, Ph.D (Psikolog dan pengamat film)
Meski saya bukan pakar perfilman hebat, seperti sutradara- sutradara TOP dan juga belum dapat disejajarkan dengan kritikus- kritikus film TOP dinegeri ini, namun saya bermaksud berbagi gagasan tentang Film (Islam) sebagai alternative kajian, dari banyak diskursus lainya tentang perfilman. Tema film Islam tersebut saya tulis bukan berarti saya hendak membuat dikotomi ideologis pada dunia perfilman Nasional. Apalagi seperti kita ketahui bersama, terlepas dari aspek teknis teknologi modern pembuatanya, Film tetaplah menjadi gagasan karya seni budaya yang derada jauh diluar lingkaran 'sara', yang dewasa ini menjadi pemicu dominan atas konflik- konflik dibeberapa wilayah Indonesia.
Lantas, kenapa saya menulis "tentang film Islam?". Buat saya jelas isue Film Islam sangat strategis, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Pun tema film Islam di Indonesia menarik diperbincangkan karena beberapa tema filmnya ikut andil dalam mendorong partisipasi masyarakat Indonesia dalam mengapresiasi perkembangan perfilman nasional, tentunya dengan cara yang sederhana, yakni mereka datang kebioskop (partisipasi), membeli tiket (transaksi ekonomi) dan kemudian menontonya (apreiasi). Malahan tidak tangung- tanggung, beberapa film dengan tema KeIslaman tersebut mampu menjadi box ofice bahkan sempat menyaingi film- film Hollywood yang selama ini mendominasi pasar box ofice didalam negeri. Sebut saja; Film Ayat- Ayat Cinta, Negeri Lima Menara.
Foto Koleksi AR Sutara
Disamping itu dari sisi produktifitasnya juga meningkat. Jika kita amati trend tema pada 2009- 2011, dimana film ayat- ayat Cinta mencetak rekor tertinggi (4 juta penonton lebih) dalam jumlah penonton film Indonesia (sebelum akhirnya ada rekor baru; Laskar Pleangi). Secara strategis, para producer Indonesia yang terkenal oprotunis dan pragmartis itu, lantas berbondong- bondong memproduksi film dengan tema- tema ke Islaman. Maka munculah film- film model; Diatas Sajadah Cinta, Mengaku Rasul, Kafilah, Hafalan Sholat Delisha, Emak Ingin Naik Haji, dll.
Namun, apakah kemudian kehadiran tema- tema film Islam tersebut tanpa kendala? maka menarik kita simak pada makalah riset pustaka yang saya buat ini.
ØABSTRAKSI
Film sebagai salah satu produk kemajuan teknologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap arus komunikasi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Bila dilihat lebih jauh film bukan hanya sekedar tontonan atau hiburan belaka, melainkan sebagai suatu media komunikasi yang efektif. Melalui film kita dapat mengekspresikan seni dan kreativitas sekaligus mengkomunikasikan nilai-nilai ataupun kebudayaan dari berbagai kondisi masyarakat.
Dalam penyampaian pesan melalui Film terjadi proses yang berdampak signifikan bagi para penontonnya. Ketika menonton sebuah film, terjadi identifikasi psikologis dari diri penonton terhadap apa yang disaksikannya. Penonton memahami dan merasakan seperti apa yang dialami salah satu pemeran. Pesan-pesan yang termuat dalam sejumlah adegan film akan membekas dalam jiwa penonton, sehingga pada akhirnya pesan-pesan itu membentuk karakter penonton.
Film merupakan media komunikasi yang efektifdalam mengkomunikasikan nilai-nilai kepada masyarakat sehingga perilaku penonton dapat berubah mengikuti apa yang disaksikannya dalam berbagai film yang disaksikannya. Melihat hal demikian film sangat memungkinkan digunakan sebagai sarana penyampai syiar Islam kepada masyarakat luas. Seperti apa yang diungkapkan Aep Kusnawan (2004) yang mengutip Onong Uchayana E (2000), “Film merupakan medium komunikasi yang ampuh, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Dengan demikian lebih jauh film diharapkan dapat memperbaiki kondisi masyarakat melalui pesan-pesan yang disampaikannya.”
Kelebihan yang terdapat dalam film sebagai media komunikasi massa antara lain yaitu film merupakan bayangan kenyataanhidup sehari-hari, film dapat lebih tajam memainkan sisi emosi pemirsa dan menurut Soelarko (1978) efek terbesar film adalah peniruan yang diakibatkan oleh anggapan bahwa apa yang dilihatnya wajar dan pantas untuk dilakukan oleh setiap orang. Maka tidak heran bila penonton tanpa disadari berperilaku mirip dengan peran dalam suatu film-film yang pernah ditontonya. Dengan aspek audio- visual yang dimilikinya, Film mempunyai pengaruh yang lebih tajam untuk memainkan emosi pemirsa, dalam ajaran dakwah Islam sendiri, istilah sentuhan emosi tersebut disebut dengan qawlan syahidan. Berbeda dengan buku yang memerlukan berfikir aktif, penonton film cukup bersikap pasif. Hal ini dikarenakan sajian film adalah sajian yang siap untuk dinikmati[1][1]
Berkaitan dengan karakter film yang dapat menyampaikan pesan dengan cara Qawlan Syahidan, menurut Graeme Turner[2][2], disebabkan oleh karena film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaan masyarakatnya.
Belum maksimalnya produksi film Islami di Indonesia karena kurang sinerginya elemen-elemen masyarakat muslim dalam menyikapi hal ini. Masyarakat kurang peka terhadap hasil produksi film yang bernuansa Islam yang pada esensinya hanya sekedar mengangkat dunia mistis belaka. Pada akhirnya timbul persepsi di kalangan masyarakat bahwa Islam di Indonesia adalah agama mistis dan cenderung dengan praktik perdukunan. Kondisi seperti ini sangat menghawatirkan sekali karena akan merusak pemahaman masyarakat terhadap Islam sebagai agama rahmatan lilalamin yang menebar perdamaian dan kasih sayang di muka bumi ini.. Permasalahan ini terjadi karena umat Islam sendiri belum mempunyai definisi yang jelas mengenai film Islami.
Dengan demikian film dapat dijadikan sebagai media dalam pembentukan karakter masyarakat. Mengingat sebagian besar dari 200 juta jiwapenduduk Indonesia adalah umat Islam, sudah seharusnya dunia dakwah dapat menggunakan film sebagai sarana dakwah. Dari sisi target pasar hal ini sangat potensial, sehingga pada akhirnya diharapkan melalui film dapat membantu usaha-usaha pembentukan masyarakat madani.
Kondisi seperti ini merupakan peluang emas bagi perkembangan dunia dakwah modern. Dengan seni dan kreatifitas pesan-pesan dakwah dapat disampaikan melalui film. Namun pada kenyataannya peluang ini kurang mendapat respon masyarakat muslim Indonesia. Faktanya, produksi film di Indonesia hanya sedikit sekali yang memproduksi film yang bertema Islami. Padahal banyak hal-hal menarik dapat diungkapkan melalui film Islami yang tidak hanya menyoroti masalah religi saja, tetapi juga sisi kehidupan sosial masyarakatnya. Untuk itu perlu adanya kesadaran bersama agar peluang emas ini tidak dipandang sebelah mata dengan membiarkan umat Islam hanya sebagai penonton film-film yang disuguhkan oleh berbagai kalangan.
Hal demikian terjadi karena orang-orang penting dalam produksi film Islami sebenarnya kurang memahami betul apa yang hendak disampaikannya. Kerap kali produser memaksakan diri memproduksi film yang bernuansa islam demi kepentingan bisnis dan rating belaka. Disisi lain sumber daya manusia (SDM) yang terlibat tidak sesuai kapasitas, sehingga hasilnya tidak memenuhi harapan penonton. Salah satu contoh hal ini,yaitu para penulis skenario perfilman islami kurang atau minim menggunakan logika. Suatuadegan dapat terjadi dengan sendirinya tanpa adanya adegan lain yang dapat menjelaskan bagaimana atau mengapa hal itu terjadi. Untuk itu diperlukan pemahaman mendalam tentang pesan yang hendak disampaikan sebelum tim produksi memutuskan untuk memproduksi filmnya
Perkembangan perfilman islami juga tak lepas dari sokongan dana yang dibutuhkan dalam proses produksinya. Sedikitnya jumlah film islami yang diproduksi tak lepas dari hambatan ketersediaan modal untuk melaksanakannya. Di sisi lain banyak pengusaha muslim yang sukses di dunia bisnis, namun kurang peka terhadap syiar islam melalui media film ini. Untuk itu diperlukan upaya peningkatan kepekaan para pengusaha muslim dengan harapan dapat mendorong perkembangan dunia perfilman islami di Indonesia.
ØSekilas Tentang Film (Islam) Di Indonesia
Kini, peluang untuk memanfaatkan film sebagai media dakwah semakin terbuka luas, dimana pasca reformasi berlangsung “keran kebebasan” berekspresi semakin menjamin bermunculanya tema-tema film yang variatif, sehingga untuk menampilkan nilai-nilai relegius dalam sebuah film sebagai siraman rohanisangatlah mungkin dilakukan. Kondisi saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan masa orde baru, dimana berbagai bentuk karya apapun jenisnya yang memiliki ciri khas keislaman selalu dicurigai dan dipersulit keberadaanya.
Potensi munculnya film-film yang bernuansa dakwah sebenarnya telah dimulai oleh beberapa tayangan di televisi, terutama sinetron dan film televisi lepas, yang seakan menjadi tren di awal tahun 2000-an. Sebut saja beberapa sinetron yang di garap oleh Chairul Umam dan menuai sukses dalam penayangannya, misalnya; Bengkel Bang Jun, Jalan Lain Kesana, serial Astaghfirullah dan Matahari Cinta. Ada juga Film televisi lepas karya Chairul Umam yang cukup fenomenal hingga harus ditayangkan berulang-ulang dan dibuatkan seri lanjutkanya, seperti Tukang Bubur Naik Haji dan Tukang Bubur Pulang Haji.
Beberapa karya Chairul Umam tersebut sangat sarat dengan nilai-nilai relijiuskeislaman dan tepat disebut sebagai film dakwah. Dalam Film cerita tersebut, Chairul Umam menjadikan keutamaan Infak dan Shadaqah sebagai tema filmnya. Ia juga menampilkan sosok seorang guru agama yang masih mudan dan bersahaja, Ustadz Yusuf Mansyur guna melengkapi pesan-pesan dakwah yang hendak disampaikan dalam Film televisi tersebut.
Bahkan Dedy Mizwar seorang tokoh senior di industri perfilman Indonesia, menjadikan sinetron-sinetron relegius keislaman yang bernuansa dakwah sebagai ciri khas dalam setiap kali produksinya. Beberapa diantaranya cukup laku dipasaran; Lorong Waktu (sinetron), Kiamat Sudah Dekat (film bioskop dan sinetron), Demi Masa (sinetron), Ketika (film bioskop), dan Naga Bonar Jadi 2 (film bioskop). Harus diakui, beberapa film yang di produksi oleh Dedy Mizwar disamping memiliki karakter religius keislaman, film tersebut juga jauh dari mainstream kebanyakan film-film Indonesia lainya[3][3].
Usaha untuk memproduksi film-film yang memiliki tujuan dakwah, atau paling tidak film-film yang memiliki karakter dan cirikhas keislaman sebenarnya telah dimulai sejak dulu atau tepatnya pada era 1990-an. Pada saat itu, Chairul Umam yang sempat dikenal sebagai sutarada film islam telah memproduksi film-film yang memiliki cirikhas keislaman dalam tema dan ceritanya, seperti: Alkautsar, Titian Serambut di Belah Tujuh, Nada dan Dakwah, Fatahillah, dan film sejarah “Wali Songo”. Meski belum mendapat animo yang cukup besar dimasyarakat, beberpa film karya Chairul Umam tersebut ada juga yang laku dan masuk kedalam jajaran film boxoffice, diantara film tersebut adalah Titian Serambut di Belah Tujuh dan Alkautsar. Bahkan untuk film Alkautsar selain masuk boxoffice, film tersebut juga cukup lama tayang dibioskop, misalnya di bioskop Menteng yang diputar sampai dua belas hari, dimana pada saat itu film-film yang lainya hanya bertahan tiga sampai dengan lima hari pemutaran saja[4][4].
[1][1] Kusnawa, Komuniksi dan Penyiaran Islam. h. 95
[2][2] Ibid, h. 95
[3][3] Hasil wawancara dan diskusidengan Dedy Mizwar pada tanggal 12 Maret. (Jakarta: Margo city, Oh La La Café. 2008)
[4][4] Yogi W Utomo, Film dan Sinetron Ghaib; Klenik Vs Islami (Artikel). (Jakarta: Republika, 2005)
dalam tulisan ini.. ;).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H