Lihat ke Halaman Asli

"Seribu Ombak yang Tak Dapat Kusimpan", Kata Pantai

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

"Wahai samudra, aku tak bisa menyimpan ombakmu, kata tepian pada laut..."

-Jalaluddin Rumi-

Ombak tidak pernah tinggal, dia akan selalu datang dan pergi. Tapi ombak tidak pernah hilang dan akan selalu menjadi bagian dari samudera. Begitu pula dengan persahabatan Wayan Manik alias Yanik dan Samihi. Yanik adalah anak asli Singaraja yang beragama Hindu sedangkan Samihi mewakili kaum pendatang di Pulau Bali yang beragama Islam. Berawal dari pertemuan yang tidak terduga persahabatan masa kanak-kanak yang mereka jalin berkembang menjadi tautan hati yang tak terlepaskan.

Sebuah film adaptasi novel karya Erwin Arnada yang menggambarkan suasana tanpa sekat antara pemeluk dua agama berlainan yang dianalogikan oleh persahabatan dua orang anak. Dari pertemanan ini Yanik didekatkan oleh kegiatan Islami anak-anak muslim seperti halnya pengajian, perayaan Idul Fitri dengan petasan meriam bambu, serta perlombaan membaca Al Qur'an. Sedangkan Samihi dikenalkan dengan kehidupan anak-anak pantai di Pantai Lovina yang terkait dengan kemiskinan, ketergantungan ekonomi terhadap kondisi pariwisata, dan kekerasan seksual.

Salah satu bagian yang paling menarik dari film ini adalah ketika Yanik meledek Samihi yang sedang latihan untuk lomba membaca Al Qur'an dengan suaranya yang dia bilang jelek, kaku, dan cempreng. Untuk membantu Samihi memenangkan lomba tersebut maka Yanik mengajaknya untuk belajar olah vokal dari guru 'mekidung', sebuah seni suara tradisional Bali. Saya yang menonton pun sempat bertanya-tanya apakah Samihi sebagai muslim akan diperbolehkan untuk mempelajarinya, yang juga ditanyakan oleh Yanik. Permintaan yang ternyata dikabulkan dengan mudahnya oleh guru 'mekidung' tersebut dan memberikan saya sebuah pandangan yang lebih akurat mengenai kesenian ini.

Entah kenapa Erwin Arnada menciptakan tokoh anak-anak bukannya dua orang sahabat dewasa di dalam novelnya. Mungkin karena selain lebih menjual di pasaran, lewat tokoh anak-anak kita dapat dihadapkan kepada berbagai isu dengan lebih jernih tanpa harus berkutat dengan kompleksitas berpikir orang dewasa. Bagi saya film ini dapat banyak mengajarkan kita tentang sebuah sikap toleransi kehidupan yang lebih jujur dan tanpa sikap sopan namun penuh kepura-puraan. Bali pun dapat terlihat lebih indah walaupun tanpa bikini dan perempuan-perempuan Jepang berkulit putih mulus yang lalu lalang di tepi jalan.

Film ini memang dibuat muram tapi tetap dengan sentuhan anak-anak yang memandang hidup ini dengan kacamata kesederhanaan yang ceria. Kita tertawa melihat kenakalan-kenakalan mereka dan sebuah kemarahan besar dapat larut hanya dengan sebuah pelajaran berenang. Persahabatan mereka pun berjalan sederhana seperti layaknya ombak dan tepi pantai, yang datang dan pergi tanpa perlu perayaan dan air mata.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline