Lihat ke Halaman Asli

Catatan Ulangtahun Ke-112 SS Lazio: Lotito dan Jas Merah

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1326305994117074056

Catatan Ulangtahun Ke-112 SS Lazio: Lotito dan Jas Merah oleh Galuh Trianingsih Lazuardi © 2012 Bulan ini, tepatnya 9 Januari yang lalu, Societa Sportivo Lazio merayakan hari jadinya yang ke 112. Saat itu, tahun 1900, sebuah plakat (monumen) yang menandai berdirinya sebuah klub olahraga yang paling fenomenal di Italia, dipancangkan di Piazza della Liberta di distrik Prati, Roma. Menaungi semua cabang olahraga yang dipertandingkan di Olimpiade, para pendiri SS Lazio sengaja memilih nama Lazio dan bukan Roma. Ibukota Roma hanyalah salah satu propinsi di Regional Lazio, meskipun pada akhirnya SS Lazio menjadi salah satu ikon penting Kota Roma, dan cabang sepakbola menjadi primadona di antara cabang olahraga lainnya. Walaupun pada hari ulangtahunnya pasukan Edy Reja gagal mempersembahkan kado manis bagi Laziali di seluruh dunia, dipermalukan tim papan bawah Siena dengan 0-4, tetaplah sangat berharga untuk melihat perjalanan dan menyimak arah perjalanan Lazio di usianya yang genap 14 windu ini. Lebih Dari Sekedar Sepakbola Dalam perjalanannya Lazio bukanlah klub paling berprestasi di Serie-A. Jangankan dibandingkan dengan Juventus yang 27 kali meraih scudetto, atau duo kota Milano yang meraihnya 18 kali. Belum lagi prestasi mereka bertiga di kancah Eropa atau di Piala Dunia Antarklub. Di tingkat domestik, koleksi trofi Lazio masih berada di belakang Fiorentina atau sang rival sekota, AS Roma, bahkan dari tim Serie-B, Torino. Koleksi yang terpajang di lemari trofi Lazio barulah 2 trofi Serie-A, 1 Serie-B, 5 Coppa Italia, 3 Supercoppa Italiana, 1 UEFA Cup Winner’s Cup dan 1 UEFA Super Cup. Sungguhpun demikian, Lazio tetap memiliki arti tersendiri bagi para pendukungnya. Di Italia, konon Lazio memiliki jumlah pendukung nomor lima. Dan yang pasti, bagi saya Lazio adalah klub pertama, satu-satunya dan terakhir yang saya cintai. Lazio, minimal bagi saya, lebih daripada sekedar sepakbola. Banyak hal baik filosofis maupun historis yang mendukung hal tersebut. Sungguh brilian para founding fathers Lazio memilih identitas warna birulangit, warna yang menyiratkan kemegahan, kebanggaan dan ketinggian. Pemilihan elang (d’aquille) pun menyimbolkan kegagahan, “arogansi”, ketaatan pada prinsip-prinsip etika dan nilai-nilai luhur. Birulangit adalah warna kerajaan para dewa di gunung Olympus, inspirasi gerakan Olimpiade dan Elang adalah lambang yang dikenakan oleh Dewa Zeus dan lambang kekaisaran Romawi yang diadaptasi juga sebagai lambang Kota Roma. Simbol, betapapun sering hanya diartikan sebagai sebuah hal yang simbolis, adalah ruh pemberi arah dan pegangan bagi para pemangku kepentingan Lazio. Itulah sebabnya, para pendiri Lazio dahulu memilihkan D’Aquille, dan bukan mahluk-mahluk antagonistis dan menjijikkan seperti srigala, ular ataupun setan untuk disematkan di dada. Lazio merupakan satu-satunya klub di Kota Roma yang dengan gagah-berani menolak titah diktator fasis Bennito Mussolini untuk melakukan merger semua perkumpulan sepakbola menjadi AS Roma pada tahun 1927. Maka lengkaplah Lazio sebagai simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan, simbol pembangkangan terhadap fasisme dan simbol suatu komunitas yang memegang teguh prinsip-prinsip mulia yang diyakininya, walaupun harus berhadapan dengan benteng kekuasaan. Jas Merah Masa indah, mungkinkah kembali? Mungkinkah Lazio kembali merajai Italia seperti pada satu dekade (1992-2002) di era Sergio Cragnotti? Banyak Laziali yang selalu merujuk ke era keemasan tersebut. Tidak dapat disalahkan, dekade tersebut Lazio betul-betul luar biasa, tidak hanya di tingkat domestik, tetapi juga di Eropa. Merebut scudetto, masing-masing 2 trofi Coppa Italia dan Supercoppa italiana, UEFA Cup Winners’ Cup dan bahkan UEFA Super Cup. Nama-nama seperti Juan Sebastian Veron, Christian Vieri, Pavel Nedved, Hernan Crespo, Sinisa Mihajlovic, Jaap Stam, Gaizka Mendeita, Marcelo Salas silih berganti memecahkan rekor nilai transfer. Saat itu semua terjadi, saya masih berseragam putih-merah sekolah dasar dan belum sepenuhnya memahami, tapi kini saya dapat membayangkan betapa membanggakannya Lazio bagi Laziali. Dan Laziali kini selalu menunggu dengan tidak sabar, saat-saat itu kembali. Mengenang kejayaan seringkali membuat kita melupakan sisi gelapnya. Era Cragnotti memang luar biasa. Selama periode empat tahun dari 1998 – 2002 Cragnotti mengeluarkan tak kurang dari 370 juta euro untuk membeli pemain, sedangkan Lotito hanya mengeluarkan 62 juta euro untuk keperluan yang sama selama 7 tahun dari 2004-2011. Tetapi Cragnotti juga menyimpan bom waktu. Pengeluaran tersebut dibiayai dengan hutang. Sektor perbankan tak hentinya mengucurkan pinjaman bagi bos perusahaan makanan Cirio dan Del Monte ini. Dan semuanya berantakan ketika Cragnotti bangkrut meninggalkan tumpukan tagihan dan hutang . SS Lazio, sebagai perusahaan publik yang listing di Borsa Italiana pun nyaris dilikuidasi. Beruntung, Lotito datang dan mencegah kapal Lazio karam dan membawanya berlayar kembali. Almarhum Bung Karno pernah memberi tajuk pada salah satu pidatonya dengan Jas Merah, kependekan dari Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah. Ini berlaku bagi Lazio. Belajar dari sejarah, dan tidak terjatuh karena terantuk oleh batu yang sama untuk kedua kalinya. Lotito tampaknya mengerti betul filosofi ini. Quo Vadis Lotito? Mau ke mana Lazio? Setelah lebih dari seabad, pertanyaan ini tentu sangat relevan untuk diajukan. Kemana sebetulnya Lazio diarahkan oleh Lotito? Menjadi klub Serie-A yang “biasa-biasa saja” kah? Atau seharusnya Lazio menapak-tilas dekade keemasan 1992-2002? Lotito bukanlah Cragnotti. Lotito tidak “membeli kesuksesan instan” dengan tumpukan hutang. Setahun setelah mengambil alih kemudi, Lotito telah mencatatkan laba bersih di laporan keuangan Lazio, dan terus berlanjut hingga kini. Tahun 2010, misalnya, Lazio mencatat laba 4,5 juta euro pada saat AC Milan membukukan kerugian 77 juta euro dan Inter mencatat angka kerugian yang sangat fantastis: 223 juta euro! Saat Massimo Moratti mulai kelabakan untuk bersiap memenuhi ketentuan UEFA tentang Financial Fair Play, Lotito sudah memenuhi kriteria tersebut sejak 2005. Memang, sebagai konsekuensinya, tak ada kejutan luar biasa dalam transfer pemain. Di bawah Lotito, rekor transfer dipegang oleh Mauro Zarate, itu pun hanya berjumlah 20 juta euro dan Anderson Hernanes (11 juta euro). Tetapi Lazio tercatat oleh konsultan keuangan independen Deloitte sebagai klub tersehat di Serie-A dan nomor 12 tersehat di Eropa tahun 2010. Lalu baikkah situasi ini bagi Lazio? Satu trofi Coppa Italia selama 12 tahun, cukupkah memuaskan bagi Laziali? Jawabannya relatif dan bisa diperdebatkan panjang. Banyak pengamat meramalkan, masa kejayaan Lazio akan dimulai dua tahun lagi, saat UEFA secara ketat akan menerapkan Financial Fair Play. Saat itu, klub-klub bertabur bintang tetapi dengan setumpuk hutang macam Milan, Inter ataupun Roma akan mulai terpaksa melego pemain-pemain mahalnya demi menyeimbangkan neraca keuangan. Saat itu, kancah Eropa hanya terbuka bagi klub-klub sehat wal afiat secara keuangan. Saat itu, Lazio sama sekali tidak akan terkena dampak, karena semua prasyarat telah terpenuhi sejak tujuh tahun silam. Saat itu, perlombaan akan dilakukan secara sehat, bukan lomba keberanian klub menambah hutang. Saat itu, saat yang paling tepat bagi elang Lazio terbang tinggi menuju langit biru. Dan, diharapkan, “Jas Merah” Lotito cukup bertuah bagi Biancocelesti. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline