Lihat ke Halaman Asli

Setelah Eyang Ayi Pergi

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

oleh Galuh Trianingsih Lazuardi

© 2012

Nama aslinya bukan Eyang Ayi, melainkan Hajjah Rubinah, sebuah nama yang cukup “ndeso”. Eyang Ayi adalah panggilan kesayangan untuk beliau, yang begitu saja diciptakan oleh cucu-cucunya yang tatkala mereka masih balita dan tak dapat menyebut kata Eyang Sari dengan dengan benar. Sari, kependekan dari Purwosari, karena beliau memang tinggal di jalan Purwosari di Semarang, Jawa Tengah. Almarhumah ibu saya adalah puteri bungsu dari sembilan anak Eyang Ayi. Bagi saya yang ditinggalkan ibu saat melahirkan saya ke dunia ini, Eyang Ayi adalah figur perempuan yang paling berpengaruh dalam membentuk diri saya. Eyang Ayi dilahirkan tahun 1921 dan hanya bersekolah hingga kelas dua sekolah dasar di masa penjajahan Belanda. Sungguhpun demikian, dalam kesederhanaannya Eyang Ayi adalah seorang yang luar biasa, setidaknya buat saya.

Keluarga besar kami adalah sekumpulan manusia yang beragam latar belakang kesukuan dan agamanya. Setengahnya beragama Islam dengan berbagai alirannya. Ada paman yang aktivis Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah, bahkan ada yang juga penganut paham Ahmadiyah. Separuhnya lagi, silakan sebutkan saja, ada yang beragama Kristen Protestan dengan berbagai ragam gerejanya, Katolik, penganut aliran kepercayaan, ada yang beragama Hindu karena perkawinannya dengan orang Bali ataupun Konghucu karena bersuamikan keturunan Cina. Bahkan saya menduga, dari kasak-kusuk, ada seorang yang tidak percaya keberadaan Tuhan alias ateis. Begitulah keluarga besar kami adanya. Dan di sinilah keluarbiasaan Eyang Ayi terlihat. Beliau berhasil mempersatukan semuanya dalam suatu ikatan keluarga besar Sumartan (dari Sumarto yang tak lain adalah ayah Eyang Ayi).

Eyang Ayi mengikat semuanya menjadi suatu kesatuan kekeluargaan dengan keyakinannya yang tak jemu-jemu disampaikannya dengan cara yang penuh kasih. Keyakinannya bahwa Tuhan (beliau menyebutnya sebagai Gusti Allah) itu Mahakuasa, yang mampu menjadikan semua umatNya satu agama, kalau Dia mau. Bahwa diciptakannya manusia dalam beragam suku dan agama adalah kehendakNya, karena kalau Dia tidak menghendaki, maka keberagaman itu pastilah tak akan pernah ada. Bahwa keberagaman itu sendiri adalah maha karya Tuhan, oleh karena itu, siapapun yang mengusik maha karya tersebut, sama saja dengan berupaya mengusik keputusanNya. Bahwa Tuhan menurunkan hukum-hukumNya lewat para utusanNya, bukanlah agar manusia saling menyerang dan menyakiti. Bahwa manusia tidak pernah punya kebebasan sedikitpun untuk memilih dari orang beragama apa seseorang itu ingin dilahirkan. Dan kalaupun seseorang akhirnya melakukan sebuah pilihan berbeda, atas dasar apapun, maka itu juga merupakan kehendak Tuhan. Karena kalau Tuhan tak menghendakinya, maka itu tak akan terjadi.

Demikianlah kami, anak-keponakan-menantu-cucu-cicit Eyang Ayi dipersatukan. Eyang Ayi selalu mengadakan dua pertemuan besar keluarga setiap tahun, satu saat Idul Fitri dan satu lagi saat Natal dan Tahun Baru. Memiliki sawah cukup luas di daerah Karanganyar, Solo, Eyang Ayi cukup mampu membiayai kedua even tersebut, bahkan memberi subsidi biaya transportasi anak-cucunya yang kurang mampu. Maka kami keluarga besar Sumartan, selalu bertemu setiap Lebaran dan Natal di rumah besarnya di Purwosari. Para ibu, apapun agamanya menyiapkan masakan untuk kedua pertemuan itu. Saya mendapatkan ucapan selamat Lebaran dari saudara-saudara yang non-Muslim, dan tentunya “salam tempel” ala kadarnya. Saya pun memberi ucapan selamat Natal bagi kerabat saya yang beragama Nasrani pada pertemuan dalam rangka Natal. Sungguhpun saya tidak mengikuti ritual keagamaan mereka, saya ikut merasakan kegembiraan Natal besama saudara-saudara saya, menikmati hidangannya dan membantu mereka menyiapkan pernak-pernik Natal. Saat itu, saya merasakan keindahan hidup dalam suatu keluarga besar, dalam suatu semangat ilahiah yang bernama cinta-kasih, tanpa dipisahkan oleh sekat-sekat keagamaan. Di luar kedua pertemuan besar, kami saling mengunjungi, membantu dan bersahabat. Itulah hebatnya Eyang Ayi. Dalam kesederhanaan dan kerentaannya, Eyang Ayi mengikat kami semua dalam cinta, kasih-sayang dan rasa hormat.

Tahun 2002 Eyang Ayi dipanggil kembali oleh penciptaNya menjelang usia ke 82. Kami semua berduka, kami semua meratapi kepergiannya. Dalam suasana emosi yang melankolis kami semua berjanji, untuk melanjutkan karya besar Eyang Ayi, mempertahankan kekeluargaan di antara kami. Tanpa pemisah-pemisah yang bernama agama. Setahun pertama setelah kepergian Eyang Ayi, dengan berbagai alasan, pertemuan keluarga saat Idul Fitri dan saat Natal, hanya dihadiri setengah dari biasanya. Tahun kedua, ketiga jumlah partisipan makin menurun, dan sejak tahun keempat kedua even tadi tinggal kenangan, tinggal sejarah yang dibawa Eyang Ayi dke peristirahatan terakhirnya di pemakaman umum Bergota, Semarang. Dan ikatan dalam keberagaman tadi buyar. Kini, beberapa keluarga mulai mengucilkan paman yang penganut Ahmadiyah, karena ajarannya dianggap sesat. Kini, ada yang menolak makan di upacara perkawinan sepupu karena meragukan kehalalan cara penyembelihan ayam goreng yang dihidangkan. Kini, ada pembatas antara kami dan mereka. Antara yang beriman, yang ahli kitab dan yang penyembah berhala. Kini, ada sepupu yang melarang anak-anaknya berkunjung ke rumah saya, karena saya tak juga berjilbab seperti kehendak mereka. Kini, keluarga besar ini memiliki banyak sekali sekat-sekat yang dulu tak pernah ada semasa Eyang Ayi masih ada. Keluarga besar Sumartan telah mati bersama matinya jazad Eyang Ayi.

Sekat-sekat itu ternyata tak hanya ada di keluarga besar kami. Di negeri ini sekat-sekat itu juga bertumbuh subur, dan seakan dibiarkan makin subur dengan pembiaran oleh penguasa. Membunuh dan menganiaya umat seagama hanya karena berbeda aliran jadi biasa. Menikam penganut agama lain yang beribadah dekat tempat ibadah kita juga bukan apa-apa. Membakar pesantren yang dianggap sesat justru dianggap pahlawan. Rasa heroik ditunjukkan dengan pongah di layar kaca saat berhasil menghalau sekelompok orang yang ingin merayakan ibadah Natal di gereja yang telah dilegalkan keputusan MA.

Ternyata, degradasi kemanusiaan ini tidak hanya terjadi pada keluarga kami, tetapi juga pada keluarga besar bangsa Indonesia. Hampir di semua tempat dan konteks, kita akan selalu dapat menjumpai sekat-sekat tadi. Saya yakin, bukan Tuhan yang menciptakan batasan-batasan yang tak tertembus itu. Bukankah keberagaman merupakan maha karya Tuhan, seperti dulu sering engkau tanamkan pada kami? Saya merindukan Eyang Ayi. Sungguh saya merindukan saat-saat sebelum Eyang Ayi pergi.

(In Memoriam Eyangku Hajjah Rubinah, 25 Maret 1921 - 5 Januari 2002)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline