Lihat ke Halaman Asli

Galuh Rahma

mahasiswa

Akulturasi Budaya Lokal ke Dalam Hukum Oslam di Indonesia

Diperbarui: 13 Oktober 2022   23:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Satu tradisi dan budaya lokal yang telah di adopsi oleh KHI ( Kompilasi Hukum Islam ) menjadi ketentuan tentang harta bersama. Pada prinsipnya tradisi atau budaya ini sangat menengaskan untuk pembagian harta bersama antara suami dan istri yang cerai hidup maupun cerai mati atau karena salah satunya hilang. 

Dari ketentuan ini sendiri berarti masing-masing dari mereka mendapat seperdua / setengah dari harta bersama dan tidak boleh diperhitungkan dengan siapa yang bekerja atau atas nama siapa harta itu terdaftar. 

Ketentuan harta bersama ini sudah termasuk dalam KHI yang dimana dinilai sebagai hasil ijtihad dan consensus ulama Indonesia. Sebab ketentuan harta bersama seperti ini tidak ditemukan aturannya secara tegas di dalam al-quran dan hadist. Oleh karena itu para ahli hukum islam di Indonesia berbeda pendapat tentang harta bersama.

Menurut satria effendi harta bersama dalam sebuah rumah tangga pada mulanya didasarkan atas urf atau adat istiadat dalam sebuah negeri yang tidak memisahkan antara harta suami dan istri. 

Maka bilaman istri mempunyai penghasilan sendiri maka hasil usahanya itu tidak dicampur adukan dengan penghasilan suami, tetapi dipisahkan sendiri. Lain halnya dengan masyarakat islam dimana adat istiadat yang berlaku dalam urusan rumah tangga tidak ada lagi pemisahan antara harta penghasilan suami dengan harta penghasilan istri, karena harta pencarian suami bercampur baur dengan harta pencarian istri.

Dalam masyarakat di Indonesia sendiri kententuan mengenai harta bersama dijumpai di hampir semua daerah. Di daerah aceh misalnya harta itu disebut hareuta sihareukat. 

Di daerah gayo dinamakan sebagai harta pohro dan dijawa / sunda disebut sebagai harta gono-gini. Dalam hukum adat harta benda yang dimiliki suami dan istri dapat dibedakan menjadi (dua) kategori umum yaitu harta benda yang diperoleh sebelum perkawinan dan harta benda yang didapat setelah atau selama perkawinan. Oleh karena itu tidak semua harta kekayaan suami istri merupakan kesatuan kekayaan menurut hukum adat di Indonesia.

Untuk mengakomondasikan hukum islam dengan hukum adat karena sebagian besar buku tentang fikih tidak menjelaskan institusi harta bersama dalam perkawinan oleh karena itu tidak mungkin dan tidak akan sesuai dengan jiwa hukum islam yang mengizinkan hukum adat untuk dipraktikan sepanjang tidak bertentangan dengan sumber utama hukum islam.

Selain harta bersama KHI juga mengadopsi hukum adat melalui institusi wasiat wajibah, praktik dalam hukum adat ini meniscayakan anak angkat untuk menerima suatu bagian harta warisan dari orang tua melalui hadia ( hibah ) yang dapat memberikan jaminan dalam kehidupan. 

Maka praktik adopsi di indonesia telah menjadi perbuatan hukum tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda diantara kelompok masyarakat. Contohnya dalam masyarakat batak di sumatra utara atau masyarakat minang kabau di sumatra barat yang dimana lembaga adopsi seperti ini sering dihubungkan dengan dominasi dari ayah atau ibu di dalam keluarga.

Di antara orang batak misalnya, adat masyarakat mengizinkan suatu keluarga untuk mengadopsi seorang anak laki-laki, tetapi tidak untuk seorang anak perempuan dalam rangka untuk menjaga bentuk patrilineal masyarakat tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline