- Kasus Hukum:Seorang warga bernama A membeli sebuah mobil bekas dari B dengan perjanjian bahwa mobil tersebut dalam kondisi baik dan tidak pernah mengalami kecelakaan besar. Setelah beberapa minggu, A menemukan bahwa mobil tersebut pernah mengalami kecelakaan besar yang menyebabkan kerusakan parah. A merasa tertipu dan membawa kasus ini ke pengadilan dengan tuduhan penipuan terhadap B.
- Analisis Kasus dengan Cara Pandang Filsafat Hukum Positivisme:
1. Pendekatan Hukum Positif: Filsafat hukum positivisme berpendapat bahwa hukum adalah sistem aturan yang dibuat oleh otoritas negara yang berwenang, dan hukum harus diterapkan sebagaimana adanya tanpa mengacu pada pertimbangan moral, keadilan alami, atau nilai-nilai subjektif lainnya. Dalam pendekatan ini, yang menjadi fokus utama adalah peraturan tertulis yang berlaku, dan keputusan diambil berdasarkan aturan-aturan yang sudah ada di dalam sistem hukum formal.
2. Peraturan yang Berlaku: Positivisme akan melihat apakah ada peraturan yang secara jelas menyatakan bahwa penjual, dalam hal ini B, wajib memberikan informasi yang benar mengenai kondisi barang yang dijual. Dalam konteks hukum di Indonesia, Pasal 1320 KUHPerdata mengatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yang salah satunya adalah kesepakatan para pihak dan tidak ada unsur penipuan. Jika terbukti bahwa B memberikan informasi yang tidak benar atau menutupi fakta penting terkait kondisi mobil, maka B dapat dianggap melanggar peraturan tentang penipuan atau wanprestasi (ingkar janji) sesuai Pasal 378 KUHP tentang penipuan .
3.Penegakan Hukum Tanpa Mempertimbangkan Moralitas:Menurut filsafat hukum positivisme, hakim yang menangani kasus ini hanya akan melihat fakta hukum yang ada, yaitu:
- Apakah B telah memberikan informasi yang tidak benar ?
- Apakah undang-undang yang berlaku menyebutkan adanya kewajiban penjual untuk memberikan informasi yang akurat?
- Apakah tindakan B melanggar aturan yang tercantum dalam hukum tertulis?
Hakim tidak akan terpengaruh oleh pertimbangan moral atau pertimbangan mengenai niat baik B dalam menjual mobil tersebut. Pengadilan dalam sistem hukum positivisme hanya akan fokus pada penerapan hukum tertulis dan mengabaikan pandangan moral atau nilai-nilai lain di luar aturan hukum yang ada.
4. Keputusan Berdasarkan Hukum Positif: Jika terbukti bahwa B telah melakukan penipuan berdasarkan bukti dan aturan hukum tertulis, maka hakim akan memutuskan bahwa B bersalah. Positivisme tidak mengizinkan adanya interpretasi di luar hukum tertulis, sehingga tidak peduli apakah B mungkin berpendapat bahwa kondisi tersebut tidak signifikan, yang penting adalah apakah tindakan tersebut melanggar aturan yang berlaku.
Kritik terhadap Positivisme dalam Kasus Ini: Meskipun positivisme memberikan kepastian hukum karena fokus pada peraturan tertulis, pendekatan ini sering dikritik karena mengabaikan pertimbangan moral atau keadilan substantif. Dalam kasus ini, meskipun hukum positif mungkin menyatakan bahwa B bersalah, pendekatan positivisme tidak akan mempertimbangkan apakah ada alasan yang dapat membenarkan tindakan B dari segi moral, misalnya jika B tidak sepenuhnya mengetahui riwayat mobil tersebut.
Kesimpulan: Dalam analisis positivisme hukum, keputusan kasus ini akan didasarkan sepenuhnya pada aturan hukum yang berlaku tanpa memperhitungkan moralitas atau keadilan di luar hukum. Jika tindakan B terbukti melanggar undang-undang, maka B akan dihukum sesuai dengan peraturan yang ada, dan tidak akan ada pertimbangan lain yang berpengaruh terhadap keputusan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H