Lihat ke Halaman Asli

Representasi Perempuan dalam Film "Kapan Kawin?"

Diperbarui: 15 Januari 2022   17:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                   Sumber foto: Vidio.com

Film layar lebar “Kapan Kawin?” menceritakan tentang kehidupan sosok wanita karir yang bekerja sebagai General Manager di salah satu hotel berbintang di Jakarta. Namun dibalik kesuksesannya sebagai wanita karir, Dinda masih menyandang status lajang di usianya yang bisa dibilang sudah matang. Karena status itu lah Dinda selalu terusik dengan pertanyaan “kapan kawin?” dari kedua orang tuanya. Film ini diperankan oleh Adinia Wirasti, Reza Rahadian, Adi Kurdi, Ivanka Suwandi, Febby Febiola, Erwin Sutodiharjo, Firman Ferdiansyah, Ellis Alisha, Yayu Unru, Aghi Narottama, dan Wicaksono Wisnu Legowo.

Dalam buku Menikmati Budaya Layar, Membaca Film, karya Setio Budi H. Hutomo, Triyono Lukmantoro, Fajar Junaedi, Budi Dwi Arifianto, Lukas Deni Setiawan, Muria Endah Sokowati, Ranggabumi Nuswantoro, Andreas Ryan Sanjaya. Dalam film, dari aspek budaya patriarki yang dominan, posisi perempuan belum banyak perubahan, walaupun diberbagai film memiliki peran yang sangat beragam, perempuan masih tetap menjadi obyek. Menjadi alat dan sarana dalam suatu setting besar dan tujuan alur cerita. Bukan sebagai subyek independen yang kuat posisinya dalam suatu setting sosial dan budaya. Sebagaimana gambaran film Indonesia pada umumnya, jika posisi perempuan pada film sangat baik atau mulia seperti seorang ibu, tetaplah ia hanya sebagai pelengkap cerita bukan cerita utama. Komodifikasi perempuan dan diskriminasi gender masih sangat dominan dalam film-film Indonesia.

Cerita dalam film ini berawal dari Dinda yang diperankan oleh Adinia Wirasti merupakan seorang General Manager di salah satu hotel berbintang di Jakarta. Sebagai seorang General Manager, menjadi profesional adalah hal wajib yang harus Dinda lakukan kepada seluruh tamu yang menginap di hotelnya. Eva (Ellis Alisha) yang merupakan asisten sekaligus teman akrab Dinda, mengajaknya ke ballroom hotel untuk memeriksa kembali kursi yang ada. Tanpa disangka, Dinda mendapatkan kejutan dari para staff hotel karena pada hari itu merupakan hari ulang tahunnya yang ke 33 tahun. Setelah mendapatkan kejutan dari para staff hotel, Dinda menerima telepon dari sang ibu. Karena Dinda sudah bisa menebak apa yang akan sang ibu katakan, Dinda enggan mengangkat telepon dari ibunya. Namun karena merasa tidak enak, Dinda menghubungi ibunya kembali.

Menurut Gatot (Adi Kurdi) dan Dewi (Ivanka Suwandi) orang tua Dinda yang tinggal di Yogyakarta, di umur yang sudah memasuki kepala tiga namun belum mempunyai kekasih atau pasangan hidup itu merupakan sebuah kegagalan mereka sebagai orang tua. Merasa bosan karena selalu di teror dengan perlakukan dan pertanyaan “kapan kawin Dinda? dari sang ibu, Dinda menyusun sebuah rencana dengan menyewa seorang aktor untuk menjadi pacar pura-puranya. Dari sini lah Dinda dikenalkan dengan aktor teater idealis bernama Aryo (Reza Rahadian) kenalan sahabatnya untuk melancarkan rencana Dinda tersebut. Awalnya Dinda merasa ragu karena gelagat Aryo dan sikapnya yang sombong. Namun Aryo membuktikan kepada Dinda dengan menelepon orang tuanya dan mengaku sebagai kekasih Dinda dengan nama Satrio. Mengetahui hal tersebut, kedua orang tua Dinda merasa senang karena sang anak akhirnya memiliki seorang kekasih. Namun, sang ayah masih menyimpan rasa curiga terhadap Aryo. Mereka pun melakukan berbagai cara agar Dinda bisa pulang ke Jogja bersama Aryo. Setelah sampai di Jogja, Aryo atau Satrio diintrogasi oleh kedua orang tua Dinda. Tanpa sepengetahuan Dinda, Gatot dan Dewi telah menyusun strategi untuk menguji apakah Satrio pantas menjadi calon suami Dinda dan calon menantu mereka. Mulai dari sang ayah yang berpura-pura sakit dan menyewa seorang wanita untuk menggoda Satrio. Setelah berbagai macam ujian yang orang tua Dinda berikan kepada Satrio, Satrio berhasil mencuri hati kedua orang tua Dinda.

Saat mereka sedang berlibur di pantai bersama, sang ayah meminta Satrio segera melamar Dinda dengan cincin peninggalan ibunya yang telah ia berikan saat Satrio berhasil melewati semua ujian yang ia berikan. Namun, cincin tersebut sengaja Dinda ambil secara diam-diam agar Satrio tidak disukai oleh kedua orang tuanya. Setelah kejadian tersebut, Dinda dan Satrio menghadiri acara makan malam bersama kakaknya Nadia (Febby Febiola) dan sang suami Jerry (Erwin Sutodihardjo) serta kedua orang tuanya untuk membahas acara ulang tahun pernikahan Gatot dan Dewi karena Dinda yang akan menjadi panitia di acara tersebut. Namun, Jerry mengambil alih semuanya dan orang tua Dinda menyetujuinya. Dinda murka lalu pergi meninggalkan acara makan malam tersebut dan disusul oleh Satrio. Untuk menghibur Dinda, Satrio mengajaknya untuk berkeliling Kota Jogja. Dari scene ini menampilkan representasi perempuan bekerja

Saat acara perayaan ulang tahun pernikahan Gatot dan Dewi tiba, Satrio menyatakan bahwa ia beneran tulus sayang kepada Dinda. Namun disaat yang bersamaan, Jerry membocorkan rahasia mengenai siapa Satrio sesungguhnya. Mendengar pernyataan itu, orang tua Dinda merasa kecewa dan murka kepada Dinda. Melihat hal tersebut, Aryo atau Satrio merasa kesal kepada Dinda karena sikapnya yang selalu mendahului keiginan orang tua, selalu membuat senang saudara-saudaranya akan tetapi lupa kalau diri sendiri juga butuh bahagia.

Representasi perempuan pada film “kapan kawin?” ini digambarkan dengan sosok Dinda yang selalu dituntut untuk menjadi seperti apa yang orang tuanya inginkan. Selalu rela membohongi diri sendiri untuk membahagiakan orang disekitarnya padahal ia merasa tidak nyaman dengan segala perlakuan keluarganya terhadap dirinya. Seperti di scene yang mana Aryo bertanya kepada orang tua Dinda mengenai apa makanan kesukaan Dinda, lalu sang ibu menjawab “ikan air tawar” padahal yang Dinda sukai kepiting. Dari sini dapat dilihat bahwa orang tua Dinda memperlakukan Dinda dengan tidak adil dan terlalu banyak memberikan tekanan kepada Dinda dalam hal apapun, sehingga ia selalu merasa tidak cukup baik dalam hal apapun. Padahal setiap orang, tidak hanya laki-laki tetapi perempuan pun memiliki kebebasan dan hak secara penuh atas hidupnya termasuk dalam memilih pasangan yang cocok dan pas sesuai dengan kriteria yang ia inginkan. Walaupun apa yang menjadi pilihannya itu sering tidak sesuai dengan norma serta adat yang ada dan berlaku di tengah masyarakat Indonesia.

Mengutip dari jurnal yang berjudul Representasi Perempuan dalam Film Indonesia, karya Novi Erlita, saat ini kesetaraan dan keadilan gender belum sepenuhnya terwujud di Indonesia. Ideologi mengenai gender yang berlaku di tengah masyarakat membuat laki-laki lebih dominan dari pada perempuan sehingga menimbulkan diskriminasi dan dengan adanya nilai, norma, adat serta mitos-mitos yang ada mengenai kaum perempuan menempatkan posisi perempuan menjadi kurang beruntung dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini terdapat pada sebagian besar scene yang ditampilkan pada film ini. Karena nilai-nilai yang ada di masyarakat itu sangat kuat, sehingga sulit sekali untuk diubah. Seperti pada scene dimana Dinda yang selalu dituntut untuk segera memiliki pasangan hidup karena umurnya telah memasuki kepala tiga. Bahkan orang tuanya rela melakukan apa aja agar anaknya dapat segera menikah. Karena Dinda seorang perempuan yang mana harus nurut apapun yang orang tuanya katakan. Padahal Dinda dapat memilih apa yang terbaik buat dirinya sendiri. Ini juga menjadi realita yang banyak sekali terjadi ditengah masyarakat. Kebanyakan perempuan zaman sekarang lebih mementingkan kebahagiaan orang lain dari pada diri sendiri. Yang mana seharusnya membahagiakan diri sendiri dahulu, baru membahagiakan orang lain. Kalau kita tidak merasa bahagia, bagaimana bisa kita membahagiakan orang lain. Semoga dengan banyaknya film-film indonesia yang mengangkat tenatng perempuan, dapat melahirkan wajah baru di dunia perfilman dengan memposisikan perempuan sebagai mana mestinya. Tidak selalu menjadikan perempuan sebagai pelengkap, jadikan perempuan sebagai cerita utamanya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline