Ya, kali ini pengalaman baru kembali saya alami di kota Gudeg, Yogyakarta. Selain menikmati weekend dengan memanjakan mata dan suasana di kawasan malioboro, saya juga berencana untuk bertemu dengan teman spesial yang baru saya kenal melalui jejaring sosial beberapa waktu yang lalu.
Tepatnya Minggu, 20 Februari 2011. Pagi itu saya bertemu dengan salah satu teman difabel dari DMC (Difabel Motor Cicle) Yogyakarta, namanya mbak Yuli. Dia adalah salah satu pengurus di DMC Yogya. Saya tertarik bertemu karena selain ingin menambah teman juga ingin bertukar pikiran tentang komunitas difabel.
Yang saya ketahui DMC ini adalah sebuah komunitas pengguna motor aksesibel. Memang anggota yang ada di DMC ini adalah mereka yang memiliki kendaraan roda tiga. Dan meskipun saya bukan pengguna motor roda tiga namun saya berkeinginan untuk lebih mengenal teman – teman difabel lainnya. Apalagi komunitas ini bisa dibilang anggotanya sudah cukup banyak dan sering mengadakan kegiatan – kegiatan sosial. Jadi saya pikir tidak ada salahnya jika saya menimba ilmu tentang bagaimana membentuk sebuah komunitas difabel.
Pertemuan saya dengan mbak Yuli sangat berkesan. Sebab ternyata hampir sebagian kisah kita berdua tidak jauh berbeda. Tantangan – tantangan yang dihadapi pun beragam. Hingga kami berdiskusi tentang kesejahteraan dan kesetaraan antara difabel dan non difabel.
Dalam lingkungan masyarakat para difabel selalu dihadapkan dengan berbagai macam tantangannya sendiri – sendiri. Namun secara garis besar memiliki kesamaan mengenai hak – hak sebagai anggota masyarakat. Dalam Pendidikan misalnya, masyarakat pada umumnya masih menganggap bahwa jika yang namanya difabel itu sudah dipastikan harus bersekolah di sekolah luar biasa. Padahal, ada juga difabel yang mampu menempuh jenjang pendidikannya di sekolah - seolah negeri.
Sedangkan untuk aspek pekerjaan, difabel juga mengalami tantangan besar. Banyak difabel yang kesulitan masuk ke perusahaan atau instansi tertentu hanya dengan alasan ’sehat jasmani rohani’. Jika di lihat kembali menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, telah mengatur adanya kuota 1 (satu) persen bagi penyandang cacat dalam ketenagakerjaan, artinya ada kewajiban bagi perusahaan untuk mempekerjakan 1 orang penyandang cacat untuk setiap 100 orang pegawai. Tetapi dalam kenyataannya, perusahaan lebih memilih untuk mencari aman dengan mengatasnamakan ’sehat jasmani rohani’ sebagai bentuk penolakan.
Hal yang lebih mengejutkan lagi ketika ada berita bahwa difabel mengalami kendala dalam menggunakan transportasi umum. Sebagai contoh kisah seorang tunanetra yang diturunkan dari pesawat dengan alasan tidak didampingi seorang pendamping. Jujur saja, saya geli dengan alasan tersebut yang terkesan mengada - ada. Seorang Difabel yang dengan sadar mengetahui bahwa dirinya sedang berada di area public tentu saja sudah bisa mengatasi segala macam resiko yang akan dia hadapi. Dengan atau tanpa pendamping pasti dia juga sudah yakin akan kemampuan dia sendiri dalam mengatasi situasi apapun. Belum lagi cerita tentang difabel – difabel yang harus menandatangani perjanjian tertulis bahwa apabila terjadi sesuatu maka perusahaan transportasi tersebut tidak akan bertanggungjawab. Mendengar cerita mbak Yuli ini rasanya saya pengen ketawa. Seakan – akan perusahaan perusahaan tersebut ketakutan tanpa sebab.
Memang benar, jika difabel mungkin akan mengganggu atau menghambat kegiatan masyarakat yang lain. Akan tetapi perlu diingat difabel juga merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Yang memliki hak dan kewajiban yang sama. Undang – undang Penyandang Cacat Bab III – Hak dan Kewajiban pasal 6 ayat 3 misalnya: yang berbunyi perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil – hasilnya. Sudah sangat jelas penyataan tersebut, tetapi mungkin yang terjadi adalah kesadaran masyarakatnyalah yang perlu lebih ditingkatkan lagi.
Mbak Yuli juga bercerita tentang pemakaian SIM D (sebenarnya saya baru tahu kalau ada SIM D). SIM khusus untuk pengguna roda tiga / difabel. Dalam kasus inipun masih terjadi kesimpangsiuran dalam pelaksanaannya. Sehingga masih perlu dibicarakan lebih detail lagi pada pihak yang berwajib sekaligus penggunanya.
Pembicaraan saya dan mbak Yuli sungguh merupakan wacana baru bagi saya. Dan membuat saya semakin merasa ada yang harus berani bersuara dan bertindak tegas tentang segala macam perlakuan masyarakat terhadap difabel – difabel lain di luar sana.Sehingga tidak ada lagi difabel - difabel yang merasa terenggut kebebasannya sebagai warga negara Indonesia dalam segala aspek kehidupan.
Semoga kesadaran diri dari tiap masyarakat pun bisa ditingkatkan dan mampu memandang difabel sebagai masyarakat biasa yang juga memiliki kesamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Amin.
Terima Kasih.
NB: correct me if i'm wrong!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H