Lihat ke Halaman Asli

galuh adi wijaya

Mahasiswa Universitas Jember

Menutup Babak Pemerintahan Jokowi: Populisme, Oligarki, dan Reformasi

Diperbarui: 23 Oktober 2024   14:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kediri - Dekade Kepemimpinan Presiden Joko Widodo (2014-2024) telah membentuk lanskap ekonomi Indonesia dengan Kontras yang mencolok. Pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dilakukan selama pemerintahan Jokowi bukan hanya soal percepatan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga merupakan strategi untuk konsolidasi politik. Dalam perspektif ekonomi politik, infrastruktur berfungsi sebagai alat untuk mengamankan dukungan politik dan ekonomi. maka unsur populisme, oligarki dan Reformasi amat melekat dalam pemerintahan jokowi

KEBIJAKAN POPULIS

Mengusung berbagai program sosial seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Program Keluarga Harapan (PKH) yang bertujuan untuk meredam ketimpangan sosial. Dalam konteks teori populisme ekonomi, langkah ini bertujuan untuk memperkuat legitimasi politiknya melalui kebijakan yang berpihak kepada rakyat miskin. Richard Robison menekankan bahwa populisme seperti ini sering kali dilakukan oleh rezim politik di negara berkembang untuk membangun basis dukungan yang kuat di kalangan masyarakat bawah. program ini terbukti memberikan dampak penurunan kemiskinan yang cukup signifikan di satu dekade pemerintahan jokowi. Merujuk data Bank Dunia, pada 2014 saat awal Jokowi menjabat sebagai presiden, ada sekitar 23,7 juta orang miskin ekstrem di Indonesia, setara 9,26% dari total penduduk ketika itu. Angkanya kemudian berangsur-angsur berkurang, hingga menjadi 5,2 juta orang atau 1,88% dari total penduduk pada 2023. Adapun pemerintahan Presiden Jokowi menargetkan bisa mencapai angka kemiskinan ekstrem 0% pada 2024. Namun, dari sudut pandang ekonomi politik, keberhasilan kebijakan populis ini dibatasi oleh dua faktor Struktur ekonomi yang tidak seimbang yakni dengan tidak meratanya pendapatan per maret 2024 menunjukkan pada angka 0,379 dan keterbatasan anggaran negara yang di alokasikan untuk anggaran program sosial mencapai Rp75,6 Triliun menurut Pelaksana Tugas Kepala Biro Perencanaan Kementerian Sosial Arif Rohman.

OLIGARKI

Beberapa indikasi menunjukkan adanya pengaruh oligarki yang signifikan selama era Jokowi:

  • Konsentrasi Kekayaan: Data mengenai distribusi kekayaan di Indonesia menunjukkan tingkat ketimpangan yang tinggi. Meskipun data resmi mengenai kepemilikan aset secara rinci sulit diakses secara publik, laporan dari berbagai lembaga internasional. Studi terbaru CELIOS bertajuk "Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia 2024: Pesawat Jet untuk si Kaya, Sepeda untuk si Miskin" menemukan bahwa ketimpangan di Indonesia telah berada di titik dimana kekayaan 50 orang terkaya di negeri ini setara dengan kekayaan 50 juta masyarakat Indonesia. Dalam kurun waktu 6 tahun ke depan, Indonesia akan memiliki kuadriliuner pertama dalam sejarah. Sementara, pada saat yang sama, butuh waktu 133 tahun untuk menghilangkan kemiskinan di Indonesia.
  • Dinasti Politik yang banyak diyakini tengah dibangun oleh Jokowi saat ini tampak lebih terang-terangan hingga memicu amarah publik. Putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang masih menjabat Walikota Solo, kini maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) bersama Prabowo.Proses penunjukkan Gibran sebagai cawapres menuai kontroversi besar. Jokowi diyakini mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK) melalui adik iparnya, Hakim MK Anwar Usman, untuk memutus perkara batas usia capres dalam UU Pemilu guna membuka ruang bagi Gibran untuk maju. Selain Gibran, anak bungsu Jokowi pun kini berpolitik. Kaesang Pangarep diberikan kursi ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hanya dalam hitungan hari sejak ia terjun ke dunia politik, tanpa melewati proses kaderisasi partai. Penting untuk mencatat bahwa fenomena dinasti politik ini menciptakan ketidaksetaraan dalam proses demokrasi dan meningkatkan risiko terjadinya kebijakan politik yang tidak etis.

Reformasi Birokrasi 

Salah satu tantangan terbesar dalam ekonomi politik di Indonesia adalah reformasi birokrasi. Jokowi melakukan berbagai upaya untuk mengurangi korupsi dan meningkatkan efisiensi birokrasi melalui deregulasi. Pemerintahan Jokowi berupaya melakukan reformasi di sektor hukum, terutama dengan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam periode pertamanya. Berdasarkan data dari KPK, selama periode 2014-2019, KPK berhasil melakukan 87 operasi tangkap tangan (OTT) dan menangani lebih dari 600 kasus korupsi. Selain itu, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang mengubah kewenangan KPK juga disahkan dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi kelembagaan penegakan hukum. Namun, perubahan ini justru memicu protes besar karena dianggap melemahkan KPK sebagai salah satu institusi yang selama ini sangat dipercaya oleh publik. hal ini di dukung data dari Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang dirilis oleh Transparency International pada 2024 adalah 3,76, menurun sebesar 0,06 poin dibandingkan tahun 2023 (3,82).

Secara keseluruhan, meskipun Jokowi berhasil memperbaiki aspek-aspek tertentu dalam ekonomi domestik, reformasi yang lebih mendalam dan menyeluruh diperlukan untuk mengatasi ketimpangan struktural dan membebaskan negara dari cengkeraman oligarki. Ini merupakan tantangan berkelanjutan dalam politik ekonomi Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline