Lihat ke Halaman Asli

Galih Wicaksono

Penulis Pemula

Distrupsi Parenting, Salah Satu Problematik Fundamental Gen Z

Diperbarui: 25 Juni 2024   11:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

#Perspective

Akhir-akhir ini Gen Z sering kali diserang dengan berbagai pandangan negatif atas perannya dalam dunia kerja. Mulai dari pandangan bahwa Gen Z tidak cakap kerja, tidak memiliki kemampuan mental untuk menghadapi permasalahan, sampai labelisasi bahwa Gen Z terlalu mengelu-elukan "mental health" dibandingkan kompetensi kerja. Terlepas dari banyaknya pandangan pro dan kontra mengenai permasalahan tersebut, namun salah satu faktor yang sangat diabaikan dalam terjadinya permasalahan itu adalah adanya DISTRUPSI PARENTING. Istilah ini mungkin tidak akan ditemui dalam kamus bahasa atau kamus disiplin ilmu manapun, karena istilah ini sejatinya adalah penggambaran sederhana atas adanya gap atau jarak antara Gen Z dengan orangtuanya. Jarak dalam konteks ini tentunya bukanlah jarak dalam artian rumah dengan tempat kerja orangtua, namun jarak komunikasi dan pemahaman yang berbeda. Perkembangan dunia digital yang sangat cepat dalam kurun waktu 2-3 tahun terakhir, sangat membuat banyak orangtua kewalahan untuk melaksanakan penyesuaian diri dengan kemajuan teknologi.

Budaya orangtua yang cenderung konvensional dengan menekankan komunikasi langsung, tidak lagi relevan untuk terus diberlakukan. Nasihat berupa larangan dan kecaman semata, dianggap oleh Gen Z sebagai suatu nilai yang tidak lagi memiliki kedudukan fundamental untuk diperhatikan. Selain itu, distrupsi parenting yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir juga membuktikan bahwa saat ini Gen Z dan orangtua justru terkadang bertukar peran dalam aspek pemahaman teknologi. Mayoritas justru Gen Z yang menjadi edukator bahkan pelopor atas penggunaan teknologi bagi orangtuanya dan kebanyakan orangtua juga merasa tidak perlu untuk terus melakukan penyesuaian diri terhadap teknologi. Hal inilah yang membuat banyak Gen Z masih terkungkung pemahaman sempit, terutama bagi mereka yang secara ekonomi berada dalam kelas menengah kebawah. Minimnya kemampuan orangtua untuk mendorong anaknya berkembang sesuai kemajuan teknologi dan pergaulan anak yang sempit menjadi penyebab beberapa kalangan Gen Z dinilai tidak berdaya saing. Selain itu budaya kerja yang sering diceritakan oleh orangtua terhadap Gen Z juga mayoritas mulai tidak lagi relevan dan banyaknya tuntutan pada akhirnya memberikan beban tak berbentuk yang menyebabkan Gen Z menjadi generasi sandwich.

Sehingga kata kuncinya adalah keberanian dari Gen Z itu sendiri untuk bersaing secara mandiri, tanpa arahan atau mengikuti arus yang terus membawanya kearah yang tidak terjelaskan. Sebaliknya, glorifikasi bahwa Gen Z tidak bisa kerja juga harus disikapi hati-hati oleh banyak pihak. Karena bisa jadi ini adalah black campaign yang membuka ruang bagi tenaga kerja asing masuk ke Indonesia. Karena seringkali rasa tidak bangga dan kritik berlebih terhadap kepemilikan aset bangsa, adalah langkah awal atas dibukanya pintu penjajahan berbasis tenaga kerja asing di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang tegas untuk menyikapi hal ini dan perbaikan yang menyeluruh, bukan kritik terus menerus yang memperkeruh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline