Lihat ke Halaman Asli

Misteri Mahapatih Majapahit (2)

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

** Sebuah Interpretasi berdasarkan keterkaitan antar peristiwa sejarah, cerita, kidung, babad dan nara sumber lainnya **

Asal usul Gajah Mada

Raden Wijaya yang telah berhasil mengalahkan Jayakatwang dan sekaligus mengusir pasukan Mongol, pada bulan November 1293, akhirnya menjadi Raja Majapahit yang pertama dan bergelar Kertarajasa Jayawardhana. Kisah pasukan Mongol pimpinan Shi Bi yang berhasil diusir oleh Raden Wijaya, dalam sejarah tidak diceritakan lagi. Padahal, kisahnya masih terus berlanjut, terutama kaitannya dengan asal usul Mahapatih Gajah Mada.

Sejarah hanya menceritakan bahwa, setelah Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit, kemudian pada tahun 1297, mengirimkan utusan ke Cina untuk berdamai. Kemungkinan salah satu asisten Shi Bi yang bernama Kau Hsing/Gao Xing yang tidak ikut rombongan pasukan Mongol pulang kembali ke Cina itulah, yang diutus oleh Raden Wijaya (sekaligus kembali) ke Cina untuk berdamai, sehingga invasi Mongol ke Jawa tidak diteruskan lagi.

Lalu korelasinya dengan sumpah Palapa-nya Gajah Mada apa? Bukankah Majapahit/Jawa sudah aman dari serangan pasukan Mongol karena keduanya sudah berdamai? Berarti motif ketetapan politik Gajah Mada sebenarnya apa, sehingga berniat untuk menyatukan Majapahit melalui penguasaan wilayah-wilayah di Nusantara?

Menurut kronik Cina, Shi Bi dan asisten pertamanya, Ike Mese yang kembali ke Cina pada tahun 1293, konon mendapat hukuman dari Kubilai Khan karena dianggap gagal melaksanakan tugas. Shi Bi dihukum 70 x cambukan dan sepertiga hartanya disita. Ike Mese juga dihukum 17 x cambukan dan sepertiga harta kekayaannya juga disita. Mereka bisa mendapatkan kembali gelar dan harta kekayaannya melalui Kaisar yang baru setelah Kubilai Khan meninggal. Sedangkan asisten kedua Shi Bi yaitu Kau Hsing/Gao Xing yang pulang belakangan, justru diberi penghargaan atas jasa-jasanya oleh Kaisar Mongol dan dihadiahi 50 tail emas karena dianggap telah melindungi pasukan dari kehancuran total.

Saat itu Kau Hsing justru memutuskan untuk tidak ikut kembali ke Mongol, melainkan dia membawa beberapa sisa-sisa pasukan berlayar ke arah timur menuju Buton. Kau Hsing atau lebih dikenal dengan sebutan Dungku Cangia di Buton, membawa putri Wa Kaa Kaa serta sisa-sisa pasukannya dan tinggal di sebuah wilayah yang dikenal bernama Tobe Tobe.

Di wilayah sekitar Buton, sebelumnya telah tinggal kelompok Mia Patamia yang terdiri dari Si Panjonga, Si Jawangkati, Si Malui dan Si Tamanajo. Mereka adalah para pendatangyang berasal dari tanah Melayu, yang telah lebih dulu mendiami wilayah Buton. Selain Mia Patamia, kelompok lainnya yang tinggal di Buton adalah rombongan Raden Sibahtera yang diutus oleh Raden Wijaya (sebelum perang dengan Kediri), untuk membuat bandar di pulau Buton (sejarah Perak Buton, Assajaru Haliqa Darul Bathniy Wa Darul Munajat dan Hikayat Negeri Buton). Raden Sibahtera /Sibatara/Sri Batara adalah seorang Musafir dari Dinasti Fatimiyah di Timur Tengah yang telah menjadi pembesar Kerajaan. Rombongan dari Jawa yang menyusul berikutnya adalah kakak beradik bernama Raden Jatubun (Bau Besi) disertai adiknya Lailan Manggraini.

Diceritakan bahwa sempat terjadi perselisihan antara Kau Hsing dan Si Jawangkati. Namun pada akhirnya keduanya sepakat berdamai. Kemudian Raden Sibahtera menikah dengan Wa Kaa Kaa, Ratu pertama kerajaan Buton dan Si Jawangkati menikah dengan Lailan Manggraini. Disebutkan ayah Gajah Mada adalah Menak Madang (Gajah Mada-wetboek). Bisa jadi Si Jawangkati identik dengan Menak Madang. Awal nama Menak/Minak memang ada di kerajaan Melayu khususnya Tulang Bawang Lampung, sebuah kerajaan yang saat itu merupakan bagian dari kerajaan Sriwijaya. Nama-nama yang dikenal dari kerajaan Tulang Bawang antara lain, Minak Sebala Kuwang, Minak Tabu Gayaw, Minak Pati Pejurit/Minak Kemala Bumi, Minak Sengecang, Minak Sengaji, Minak Indah/Gemol,Menak Makdum dan Menak Melako.

Si Jawangkati diceritakan akhirnya telah meninggal dunia. Sepeninggal Si Jawangkati, Lailan Manggraini memutuskan pulang ke Jawa. Kemungkinan saat itu Lailan Manggraini sedang hamil muda. Waktu kepulangannya ke Jawa, diperkirakan ikut rombongan ekspedisi Pamalayu pimpinan Kebo anabrang pada 1293, yang kembali dari Melayu/Sumatra dan diperkirakan singgah dulu di Buton sebelum melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Sesampainya di Jawa, Lailan Manggraini memutuskan menjadi pendeta di Lemah surat di sebelah selatan wilwatikta (Majapahit) dan bertemu dengan Ki Sidowayah yang juga berniat menjadi pendeta (sejalan dengan keterangan bahwa Ki Sidowayah yang tidak memiliki istri).

Hal ini sejalan dengan sejarah Babad Bali. Setelah disucikan (diabhiseka menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di Lemah Surat, lalu kedua orang dari wilwatikta tersebut diberi nama Curadharmawysa dan Nariratih. Namun karena kandungan Nariratih semakin membesar, sehingga untuk menutup malu ditemani Curadharmawysa pergi meninggalkan Lemah surat, mengembara ke hutan-hutan tanpa tujuan, dengan maksud menunggu waktu hingga Patni Nariratih melahirkan. Alkisah, sampailah mereka di suatu tempat di dekat gunung Semeru, lalu perjalanan diteruskan menuju kearah Barat Daya. Akhirnya sampailah mereka di sebuah desa yang bernama desa Maddha. Saat hari sudah menjelang malam, Patni Nariratih mau melahirkan, lalu diajak ke sebuah “Balai Agung” yang terletak di suatu tempat yang tinggi (kahyangan) di desa Maddha tersebut. Di tempat tersebut Nariratih akhirnya melahirkan.

Hal ini juga sejalan dengan Folklore Mada tentang cerita Dewi Andongsari bahwa, pada saat putranya masih kecil Dewi Andong Sari meninggal dan dimakamkan di atas bukit di desa Cancing, Gunung Ratu yang terletak di ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut, berada di wilayah Kecamatan Ngimbang, Lamongan. Bayi anak Dewi Andong Sari oleh Ki Sidowayah (yang tidak memiliki istri) lalu dititipkan pada janda (keturunan) Wurawuri yang tinggal di desa Mada Lamongan.

Jadi kemungkinan besar Ki Sidowayah identik dengan Curadharmawysa dan Dewi Andong Sari identik dengan Nariratih atau Lailan Manggraini. Ki Sidowayah tidak memiliki istri karena memang dia seorang pendeta. Mengingat orangtua asuhnya janda (keturunan) Wurawuri adalah beragama Hindu/Budha, maka kemungkinan di masa kecilnya, Gajah Mada menganut agama lama atau sebelum Islam, yaitu Hindu/Budha atau mengikuti agama orang tua asuhnya.

Ketika berumur 14 tahun, Gajah Mada bertemu dengan Eyang Wungkuk Hanuraga/Ki Hanuraga, Sesepuh Generasi ke III Paguron Suling Dewata yang terkenal dengan sebutan “Seruling Gading” yang saat itu sedang berkelana mengelilingi Nusa Ning Nusa (Nusantara). Hal ini dikaitkan dengan Parampara Paiketan Paguron Suling Dewata, disebutkan Mahayogi Hanuraga menemukan I Dipa/Jaka Mada (Gajah Mada) dipinggiran hutan dalam keadaan pingsan, antara hidup dan mati, akibat makan “Ong Brahma” sebuah jamur berwarna merah sebesar niru. Karena kasihan Mahayogi Hanuraga mengobati dan menyembuhkan luka dalam Gajah Mada. Dari Ki Hanuraga-lah Gajah Mada belajar ilmu silat dan kanuragan serta belajar ilmu ketatanegaraan.

Berdasarkan Folklore Mada, setelah remaja, I Dipa/Jaka Mada diajak oleh Ki Gede Sidowayah ke Songgoriti, Malang. Berarti dari sanalah Gajah Mada mulai meniti kariernya sebagai prajurit atau bekel, kemudian menjadi pimpinan pasukan Bhayangkara (pasukan khusus setingkat kompi yang bertugas menjaga keamanan istana), hingga mencapai jabatannya sebagai Mahapatih Majapahit, sebuah jabatan tertinggi dibawah Raja Majapahit.

Sedangkan kaitannya dengan Ki Soma Kepakisan (Guru dari Kebo Iwa), Ki Soma adalah saudara seperguruan dari I Dipa (Gajah Mada). Mereka berdua adalah murid dari Ki Hanuraga. Sehingga tidak mengherankan jika Gajah Mada memiliki ilmu kesaktian yang tinggi dan setelah menjadi patih Majapahit dan terjadi kekosongan di Bali (akibat diserang Adityawarman dan Gajah Mada), menunjuk putra putri keturunan dari saudara seperguruannya yaitu Ki Soma Kepakisan/Ida Kresna Soma Kepakisan (putra bungsu Mpu Tantular), menjadi raja di Bali yang juga bergelar Sri Kresna Kepakisan. Dan menjadi masuk akal pula, kenapa Kebo Iwa orang sakti pelindung kerajaan Bedahulu, Bali yang akan diserang Majapahit, percaya dan mau datang ke Majapahit, karena notabene Gajah Mada adalah paman gurunya. Dengan tipu muslihat, akhirnya Kebo Iwa dapat ditaklukkan oleh Gajah Mada. Dengan gugurnya Kebo Iwa, pasukan Majapahit akhirnya lebih leluasa  menyerang Bali. Pasung Grigis, Patih sekaligus benteng terakhir Bedahulu akhirnya dapat ditaklukkan.

Lalu dari Songgoriti, Malang ke Majapahit perjalanan Gajah Mada lewat mana dan diterima di Majapahit atas referensi siapa? Ada 2 (dua) kemungkinan yaitu, via Pandakan, Pasuruan dan bertemu dengan Gajah Pagon atau via Daha, Kediri dan bertemu dengan Patih Daha saat itu yaitu Arya Tilam.......(Bersambung).

Artikel lainnya : Menyoal LPG Non Subsidi, Sekali Dayung Dua Tiga Pulau Terlampaui

Artikel sebelumnya : Misteri Mahapatih Majapahit (1)

Artikel selanjutnya : Misteri Mahapatih Majapahit (3)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline