Lihat ke Halaman Asli

Iin Nuraini

guru penulis penikmat buku

"Self-Education", Lawan Hoaks Sejak Dini

Diperbarui: 8 November 2017   07:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

MELACAK BERITA HOAX

Secara lahiriah manusia menyukai hal yang alami. Demikian juga masyarakat Indonesia, dengan deretan panjang sejarahnya memiliki kapasitas  yang lebih naluriah. Masyarakat yang lekat dengan tradisinya tumbuh serasi dengan harmoni alam. Dalam bukunya "Mempertimbangkan Tradisi" (1983 : 8) Rendra menyebut kebudayaan tradisional kita adalah kebudayaan alam.  Kita tidak menguasai alam, namun mengharmonisasikan diri dengan alam.  Bahkan tradisi mengajarkan satu pandangan hidup pun, menyerah pada alam semesta. Beginilah nasib bangsa yang sebenarnya sudah mengenal abjad tulisan tapi tradisi kebudayaan kita tidak pernah meningkat pada kebudayaan tulis. Kita terperangkap dengan penyampaian yang sangat alamiah : lisan.

Tidak mengherankan jika kita sebagai masyarakat global, tumbuh sebagai masyarakat yang geragapan, kagetan menerima unsur-unsur yang baru. Dengan dramatis mereka bereaksi seolah-olah berita atau kabar yang diterima adalah benar. Itulah bangsa kita. Dengan mudah hoax disebar untuk tujuan mendiskreditkan suatu kaum, golongan bahkan agama. Rakyat dengan keterbatasan informasi (karena budaya alamiahnya) sangat mudah menelan bulat-bulat berita bohong tanpa usaha mencari kebenarannya. Maka, sempurnalah masyarakat madani penuh hoax di negeri demokrasi ini!

Dalam jurnalistik, hoax bukanlah hal yang baru. Kata hoax berarti berita bohong atau menjurus pada pencemaran nama baik. Hoax  adalah informasi palsu, berita bohong atau fakta yang dipelintir dan direkayasa untuk tujuan lelucon atau serius (politis). Sebelum menyebar di media sosial, Hoax dikenal pertama kali tahun 1808 dan ratusan tahun sebelum itu kata Hoax berasal dari "hocus" dari mantra "hocus pocus", frasa yang kerap disebut oleh pesulap, serupa "sim salabim".

Jika kita dapat meluangkan waktu, kita dapat mengidentifikasi berita tersebut hoax atau bukan. Pertama, berita tersebut dapat mengakibatkan kecemasan, kebencian, dan permusuhan. Kedua, sumber berita tidak jelas. Biasanya cenderung menyudutkan pihak tertentu. Ketiga, bermuatan fanatisme atas nama ideologi, judul, dan pengantarnya provokatif, memberikan penghukuman serta menyembunyikan fakta dan data. Keempat, menggunakan huruf kapital, huruf tebal (bold), banyak tanda seru, dan terakhir penyebar hoax biasanya menuliskan: "copas dari grup sebelah" atau "kiriman teman".

Jika menemukan berita di seperti diatas, sikap pertama adalah jangan langsung percaya. Perlu klarifikasi pada sumbernya terutama dapat mengecek melalui gambar. Foto atau gambar tersebut dapat kita cek dengan membuka google image. Klik icon kamera dan upload gambar yang akan dicek atau copas link/url gambar yang akan dicek kebenarannya. Dengan mengecek judul berita, sumber berita, gambar, dan alamat website kita dapat mengecek apakah berita tersebut fakta atau hanya opini.

Berita Hoax dengan bahasanya yang provokatif dapat dengan mudah menggiring pembaca untuk membenci pihak tertentu sehingga menimbulkan keresahan dan perpecahan. Kebencian yang ditimbulkan akan mendorong seseorang untuk menyampaikan berita-berita tersebut sebanyak-banyaknya. Dampak negatif tersebut hampir sulit untuk dibendung jika berhubungan dengan SARA (suku, agama, ras, antar golongan) dan politis. Kebencian ada dimana-mana. Kata kehabisan bahasa damai. Bahkan di bidang pendidikan dan kesehatan pun tak luput dari incaran kelompok penyebar berita hoax.

Informasi yang sesungguhnya tidak benar tapi dibuat seolah-olah ada akan mengakibatkan dampak buruk bagi banyak pihak. Pertama, generasi muda akan tersita waktunya. Mereka yang langsung percaya dengan berita tersebut akan mudah terprovokasi sehingga meneruskan berita tersebut tanpa mengklarifikasi. Kedua, memicu perpecahan antar dua kelompok atau beberapa kelompok. Ketiga, dapat menurunkan reputasi pihak yang dirugikan. Keempat, menguntungkan pihak tertentu,  dan terakhir, hoax membuat berita fakta tidak bisa dipercaya lagi.

SELF-EDUCATION : Dari Saya, Kamu dan Kita

Secara massive, perlu adanya edukasi untuk anak-anak, orangtua dan juga masyarakat umum. Edukasi sejak dini perlu digerakkan dalam rangka manangkis serangan-serangan hoax yang merugikan banyak pihak. Secara fisik, masyarakat perlu kesadaran diri untuk meninggalkan budaya instan, budaya langsung jadi yang selama ini menjadi momok masyarakat kita. Kurangnya kesadaran akan informasi yang benar dipengaruhi oleh tingkat pndidikan yang rendah. Mayoritas masyarakat Indonesia yang lulusan Sekolah Dasar dan SMP adalah sasaran empuk para penyebar Hoax.

Secara pribadi, kita harus sadar untuk mulai memasang alarm terhadap berita hoax yang secara tidak langsung merugikan diri kita sendiri. Alarm itu berupa edukasi sedini mungkin. Tiga komponen utama dalam proses edukasi tersebut adalah di keluarga, sekolah dan diantara lingkungan keluarga dan sekolah yakni masyarakat. Sedari kecil, anak melekat dengan aturan-aturan yang dibiasakan di keluarga. Pembiasaan yang baik ditanamkan mulai anak prasekolah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline