Usaha bisnis thrifting yang sudah berjalan puluhan tahun memiliki banyak dampak negatif. Namun usaha ini juga berperan signifikan dalam mengakselerasi transformasi ekonomi masyarakat di era digital. Industri fashion merupakan satu di antara bidang industri yang cukup lama, besar, dan banyak pemainnya. Menurut Laporan BEKRAF tahun 2016 lalu, usaha busana mempunyai kontribusi kedua terbesar setelah bidang kuliner di industri kreatif Indonesia. Di tengah ketetapan persaingan, ada hal unik yaitu adanya anggapan para milenial terkait pakaian bekas sebagai budaya populer.
Cepatnya adopsi modernisasi nilai budaya populer di millennial juga terefleksi dari tingginya kecenderungan anak muda untuk melakukan konsumsi pakaian bekas. Minat kawula muda dalam menyusuri gaya hidup tidak terlepas pada trend fashion yang sedang berkembang. Fesyen adalah gaya berbusana dan dandanan yang sedang naik daun lagi mengikuti zaman. Fesyen dipandang sebagai tolok ukur seseorang di lingkungan tempat ia tinggal. Nilai-nilai ini secara khusus mengidentifikasi karakter seseorang sebagai citra diri dan bagaimana ia mempromosikan dirinya agar tetap eksis.
Eksistensi berbusana membuat seseorang akan lebih percaya diri jika apa yang ia kenakan memiliki nilai yang tinggi di konstruk sosial masyarakat kita. Dalam pemenuhan dan perjalanan seseorang dikatakan mampu memenuhi konstruk sosial, tak jarang ia harus merogoh kocek untuk membeli barang bekas layak pakai. Sesungguhnya banyak sekali faktor yang melatar belakangi seseorang mendayagunakan usahanya dalam memilih produk bekas.
Kekuatan ekonomi lapisan masyarakat kita yang heterogen membuat kebutuhan akan sandang juga majemuk. Masyarakat kita menilai bahwa membeli pakaian bekas juga upaya untuk tetap tangguh di tengah ketidakpastian dan usaha mencukupkan kebutuhan bulanan. Sehingga ekstraksi dalam hal pemenuhan akan urusan sandang bisa dibilang tercukupi. Kekuatan daya beli yang beragam membuat adanya segementasi rinci dan penting bagi pelaku usaha thrifting.
Bagi pelaku usaha thrifting, segementasi pasar yang ia lakukan tentunya bisa diadu dengan sejumlah brand lokal. Analisis SWOT akan kualitas barang juga tidak kalah dengan barang baru di usaha tekstil dan fesyen dalam negeri. Radiasi trend fesyen membuat sebagian anak muda turut meramaikan kompetisi akan brand lokal versus thrifting. Generasi muda yang ingin tetap on point selalu mengusahakan dirinya berpenampilan menarik sesuai dengan trend fesyen. Paparan ini juga tidak bisa ditolak dan ditahan karena ia adalah produk dari globalisasi dan kemajuan teknologi informasi. Utamanya gaya hidup selalu digaungkan anak muda untuk mendapatkan nilai validasi yang terbentuk dari tataran konstruk sosial.
Disparitas Fast Fashion dan Sustainable Fashion
Meningkatnya akses masyarakat terhadap produk pakaian bekas dan sejumlah item aksesoris bekas dimungkinkan karena kemunculan beragam aksebilitas transaksi jual beli. Keterbukaan pasar global bagi pemasok, eksportir, importir, lengahnya pengawasan pintu gerbang internasional dan keabaian stakeholder, adalah sebagian wujud dari hal tersebut.
Peran eksistensi pakaian bekas sebagai budaya populer juga makin terintegrasi di keseharian masyarakat. Hal ini didukung salah satunya oleh tingkat adopsi teknologi yang tinggi, terutama generasi milenial dan Generasi Z (kelahiran 1995-2010) yang merupakan penyumbang demografi terbesar (53,81%) dari total penduduk Indonesia (BPS, 2022).
Pesatnya adopsi teknologi menjadikan generasi muda sebagai pendorong masifnya pakaian bekas yang sangat penting. Dominasi generasi Z dalam pasar fesyen dianggap mampu untuk menjaga eksistensi brand lokal di industri sirkular fesyen Tanah Air.
Mayoritas kawula muda juga memiliki persepsi bahwa fast fesyen menarik karena murah dan tidak ada rasa menyesal kalau sudah bosan. Istilah ini menyuarakan bahwa perputaran mode berlaku secara cepat dan diproduksi secara masal. Dalam industri fashion yang berkembang 20 tahun belakangan ini, ditemukan sejumlah faktor evolusi mode seperti kebutuhan untuk mengurangi biaya produksi, tenaga kerja, dan produk; upaya peningkatan jumlah harapan pelanggan; globalisasi; dan teknologi.
Macam-macam industri menggembar-gemborkan kredensial keberlanjutan (sustain) mereka lebih kuat daripada industri fast fashion. Ragam produk ditemukan mulai dari pakaian renang hingga gaun pengantin dipasarkan dengan klaim organik atau vegan. Sejumlah inovasi hadir melalui model bisnis dengan klaim sustain termasuk daur ulang, penjualan kembali, penyewaan, dan reparasi sebagai upaya konservasi lingkungan.