Lihat ke Halaman Asli

Permen LHK No 17 Tahun 2020: Multikulturalisme Bersyarat untuk Masyarakat Adat

Diperbarui: 29 Juni 2021   00:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Mongabay

Pengantar: Kompilasi Problematika Masyarakat Adat di Indonesia

Masyarakat hukum adat merupakan sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga sesama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan (Thontowi, 2013). 

Dengan begitu, kedekatan latar belakang yang sama dalam setiap masyarakat adat berimplikasi pada hukum adat tersendiri untuk mengatur kehidupan mereka. 

Latar belakang kedekatan masyarakat adat tidak hanya mempengaruhi hubungan secara internal, melainkan turut mempengaruhi masyarakat dalam mengelola lingkungan atau hutan adat mereka. 

Komunitas masyarakat adat biasa menggantungkan kehidupannya pada keberlangsungan pengelolaan sumber daya yang disediakan hutan. Seperti contoh sederhana dimana masyarakat adat yang menggantungkan suplai air dari hujan dan simpanan air dari area hutan, yaitu masyarakat adat Tangsa. 

Desa Benteng Alla Utara, Kecamatan Baroko, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menurut Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), sampai tahun 2020, terdapat 1.337 komunitas adat di Indonesia, 726 diantaranya sudah teregistrasi, sedangkan 536 komunitas lainnya baru tercatat (Chandra, 2020).

Namun, masih terdapat banyak problematika yang hadir dalam urusan masyarakat adat. Muara masalahnya terdapat pada posisi masyarakat adat yang tidak memiliki pengakuan dan perlindungan penuh untuk mengelola hutan adatnya karena masih diklaim sebagai milik negara. Hal tersebut salah satunya seperti yang terjadi pada masyarakat adat Tangsa. 

Tangsa bersama empat komunitas adat lain yang sampai akhir tahun 2020 masih menunggu penetapan hutan adat seluas 130,86 hektar oleh KLHK sejak 10 Desember 2018 (Chandra, 2020). Sampai awal tahun 2021, baru sekitar 50.000 hektar hutan adat yang ditetapkan, dimana lebih dari 10 juta hektar pengajuan peta partisipatif wilayah adat oleh AMAN diserahkan ke pemerintah.

Pemaparan kasus tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat adat tidak diberi kejelasan tentang daerah mana yang dapat dikelola dan yang tidak. Implikasinya adalah masyarakat adat tidak memiliki perlindungan keamanan karena diasumsikan telah melakukan kegiatan ilegal secara terus-menerus. 

Pada saat yang sama, berbagai tindakan diskriminasi terhadap masyarakat adat terus berlangsung seperti kasus-kasus kriminalisasi, perampasan hutan adat, dan kerusakan lingkungan adat di berbagai daerah. Sampai sekarang pun, masyarakat adat Kinipan juga belum mendapatkan kejelasan perlindungan terhadap wilayah adat, walaupun sudah melakukan pengajuan terhadap KLHK (Arumingtyas, 2021). Oleh sebab itu, perlu dilakukan penyusunan kebijakan mengenai hutan adat sebagai solusi legal untuk masyarakat adat dalam mengelola ruang hidup mereka.

Pembahasan: Membedah Permen LHK No 17 Tahun 2020

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline