Akhir-akhir ini, aku mendapati fakta bahwa dunia politik di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Hal tersebut dapat terlihat dari bagaimana aktivitas partai politik dalam menyiapkan diri menjelang pemilu. Memang, partai politik adalah tunggangan untuk mencapai kekuasaan. Namun, kader yang diusung dari suatu partai haruslah memiliki kompetensi yang mumpuni agar dapat memenangi kontestasi 5 tahunan itu. Kualitas kader haruslah menjadi hal utama yang dipertimbangkan sebelum diajukan untuk menjadi bagian dalam suatu pemilihan. Di samping itu, selain memiliki kualitas yang baik, kader yang diusung juga haruslah memiliki popularitas yang tinggi pula agar bisa menarik hati masyarakat. Sehingga, perpaduan antara kualitas diri yang baik, serta memiliki popularitas yang tinggi merupakan hal yang ideal bagi partai dalam memilih kader untuk naik.
Seyogyanya, partai politik tidak menjadikan popularitas sebagai pertimbangan pertama-utama dalam pemilihan seorang kader untuk naik. Sehingga, parameter turunnya kualitas suatu partai dalam berpolitik dapat dilihat ketika proses pengusungan kader. Menjadikan popularitas sebagai pertimbangan pertama-utama, dibandingkan dengan kualitas atau rekam jejaknya, merupakan indikasi bobroknya partai politik tersebut. Memang benar, seorang kader dapat memiliki kesempatan untuk menang yang lebih tinggi, apabila sudah dikenal luas oleh masyarakat. Namun, kualitas yang dimiliki kader tersebut juga harus dipertimbangkan. Kembali lagi, partai politik seharusnya memiliki kesadaran, bahwa kualitas lebih diutamakan dibandingkan kuantitas.
Hal yang terjadi pada partai politik saat ini adalah mereka berbondong-bondong menghubungi public figure atau influencer untuk mengajaknya bergabung, kemudian mengusung mereka dalam suatu pemilihan. Hal tersebut tidaklah salah, selagi public figure yang diusung memiliki kompetensi dalam bidang tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya, begitu banyak tokoh yang terpilih untuk menjadi wakil rakat atau pemimpin daerah, yang memiliki latar belakang public figure, tidak memiliki kualitas atau kompetensi yang baik dalam bidangnya. Sehingga, bukan kepentingan rakyat yang diutamakan, namun kepentingan pribadi menjadi hal utama.
Hal yang aku tulis di atas adalah fakta serta kenyataan dari apa yang terjadi saat ini, bahkan dari sejak lama. Terbaru, Partai Gerindra, besutan Prabowo Subianto, mengusung Marshel Widianto, sebagai Calon Wakil Walikota Tangerang Selatan. Bukan tanpa sebab, latar belakang Marshel Widianto sangat jauh dari dunia politik. Ia merupakan seorang komedian, yang lahir dan besar di lingkungan keras, di Jakarta Utara. Lebih lanjut, Marshel Widianto juga saat ini sedang menjalani blacklist dari hampir semua stasiun tv. Karirnya sedang benar-benar redup. Hal tersebut terjadi bukan tanpa alasan, tingkah lakunya yang buruk membuatnya tidak disukai banyak orang. Contoh kecilnya, Marshel Widianto adalah orang yang tidak pernah on time dalam pekerjaannya, kacang lupa kulit pada Denny Cagur, serta membohongi banyak pihak. Masih ingat dengan kasus Dea Only Fans? kasus tersebut juga menyeret nama Marshel sebagai salah satu pembeli dari konten pornografi yang dijual oleh Dea. Rekam jejak yang buruk, tidak memiliki kompetensi dan kualitas diri yang baik di dunia perpolitikan, namun mampu dipilih oleh Partai Gerinda untuk menjadi Calon Wakil Walikota Tangsel. Lucu bukan?
Aku begitu prihatin dengan kondisi dunia perpolitikan Indonesia saat ini. Politik oportunis menguasai pemikiran dan arah gerak partai. Partai Politik yang seharusnya menjadi wadah dan tunggangan bagi orang-orang yang berkompeten untuk maju menjadi penerus bangsa telah hilang. Mereka cenderung lebih memilih orang yang memiliki popularitas, agar mendulang banyak suara dengan mudah. Hal ini tentu sangat merugikan Indonesia di masa depan. Kebijakan yang diambil oleh pemimpin yang tidak berkompeten tentu akan sangat merugikan saat ini maupun di masa yang akan datang. Bahkan, bukan tidak mungkin, cita-cita Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi angan semata.
Simpulan yang dapat diambil dari tulisan ini ialah; politik oportunis adalah nyata terjadi saat ini, bahkan sejak lama. Banyak sekali partai politik yang mengusung kader dengan latar belakang public figure tanpa kualitas, hanya untuk mendulang banyak suara dengan mudah dalam suatu pemilihan. Hal tersebut harus segera dihentikan. Hal tersebut akan berdampak saat ini, hingga pada masa depan Indonesia. Partai politik harus segera kembali pada fitrahnya, seperti apa yang Bung Hatta cita-citakan. Partai politik seharusnya lebih selektif dalam pengusungan kader, dan mendahulukan kualitas dibanding kuantitas. Tentu saja, hal tersebut untuk Indonesia di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H