Lihat ke Halaman Asli

Jangan Paksa Aku Memakai Bajumu

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi (www.mahendrawijaya.blogspot.com)

[caption id="" align="alignnone" width="610" caption="Sumber Ilustrasi (www.mahendrawijaya.blogspot.com)"][/caption]

Bhineka Tunggal Ika, semboyan ini terasa akrab ditelinga masyarakat Indonesia. Konsep ini berangkat dari kemajemukan yang terkandung dikalangan mereka. Realitas tersebut nampak pada keanekaragaman suku bangsa, bahasa, adat istiadat, agama, dan lainnya. Tak heran para founding fathers Indonesia telah menyantumkan semboyan itu sebagai dasar negara.

Keberagaman penduduk Indonesia pun dapat disaksikan salah satunya dikawasan Yogyakarta. Sebagai salah satu propinsi yang menjadi tujuan pendidikan maupun pariwisata, gelombang keanekaragaman warganya tak dapat terbendung. Masyarakat dari berbagai latar belakang kebudayaan kini telah menempati kawasan ini. Meskipun demikian, nuansa sikap saling mengakui perbedaan tersebut sudah mulai terasa. Terlebih lagi, beberapa tempo lalu kalangan etnis Tionghoa merayakan hari besarnya.

Perayaaan itu rupanya disambut oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta di luar etnis Tionghoa. Mereka nampak antusias dalam menyaksikan festival perayaan tahun baru Imlek. Lantas dengan adanya fakta tersebut, apakah mereka bisa dikatakan sebagai masyarakat yang menganut multikulturalisme sesuai dengan nilai pancasila? Bagaimana jika dihadapkan pada kasus pernikahan dua pihak yang memiliki latar belakang beda agama?

Secara lengkap Lawrence A Blum (dalam Nadzir,hal.4) mendefinisikan multikulturalisme sebagai sebuah pemahaman, penghormatan dan penghargaan atas budaya orang lain, masyarakat lain. Sebuah penghormatan, penghargaan, yang disertai dengan keinginan untuk mengetahui dan memahami kebudayaan lain tersebut. Meskipun itu adalah sebuah penghormatan, penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan budaya, hal itu tidak berarti menyetujui, menyepakati semua aspek atau unsur-unsur dari kebudayaan yang berbeda. Dengan kata lain, masyarakat yang telah menganut multikulturalisme cenderung mengamalkan toleransinya atas perbedaan dengan disertai upaya untuk memahami atas keanekaragaman kebudayaan.

Berkaca dari definisi diatas, fenomena antusias masyarakat non-Tionghoa dalam menyemarakan rangkaian acara tahun baru imlek tergolong sebagai pengamalan atas multikulturalisme. Mereka tidak sekedar mengakui maupun menghormati akan adanya perbedaan etnis, namun turut serta dalam memahami perbedaan kebudayaan tersebut. Situasi ini cukup bertolak belakang apabila dilihat dalam fenomena perbedaan agama.

Praktek multikulturalisme rupanya belum sepenuhnya dilakukan dalam menyikapi keanekaragaman agama. Dalam kenyataannya, masih terdapat dinding pembatas diantara perbedaan. Kemunculan pembatas itu semakin nyata ketika kita menyaksikan problema pada pernikahan beda agama. Terlebih lagi pemerintah Indonesia juga mendukung sikap anti-multikulturalisme melalui kebijakan dalam penikahan.

Hingga saat ini, problema itu masih terasa dikalangan masyarakat Indonesia. Bahkan dua tahun yang lalu, salah seorang satpam di kantor Pekerjaan Umum DIY melakukan bunuh diri lantaran rencana pernikahan dengan gadis pujaannya batal (krjogja.com,17/9). Hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan agama diantara keduanya.

Tentu tidak semuanya berakhir miris seperihalnya kasus diatas. Namun acapkali, hubungan asmara diantara dua insan yang memiliki perbedaan agama tidak sampai pada jenjang pernikahan. Alasan tidak ada restu dari orangtua karena beda agama cenderung menjadi penyebabnya. Kalau pun ada yang mendapatkan restu menikah, salah satu diantara mereka “dipaksa” supaya pindah agama. Kenyataan inilah yang hingga saat ini masih “membelenggu” persatuan di kalangan masyarakat Indonesia.

Logikanya,apabila pelarangan nikah beda agama masih terus berlanjut, persatuan warga Indonesia hanya sebatas omong kosong belaka. Stereotype ataupun pandangan buruk masih begitu mengikat diantara agama yang satu dengan yang lainnya. Disisi lain, jika pernikahan masih didasarkan pada persamaan agama atau keyakinan, para pengambil kebijakan maupun masyarakat Indonesia dapat dikatakan menentang realitas adanya keberagaman yang selama ini telah mewarnai kehidupan bangsa ini.

Pernikahan beda agama selayaknya jangan menjadi hal yang tabu lagi. Terlebih mobilitas masyarakat Indonesia kini telah mengalami peningkatan yang cukup pesat, baik ditingkat lokal maupun nasional. Interaksi diantara perbedaan pun tak dapat dihindari. Untuk itu, pernikahan beda suku bangsa telah menjadi hal yang wajar. Namun pernikahan beda agama justru masih dianggap sebagai hal yang “aneh”.

Selera Boleh Beda

Analoginya, setiap individu memiliki selera baju yang berbeda.Masing-masing diantaranya memiliki kenyamanan atas model baju yang dipilih. Tidak sepantasnya seseorang memaksakan model baju yang disukainya kepada pihak lain demi terwujudnya kebersamaan.

Melalui jalur pernikahan beda agama, masyarakat Indonesia akan mulai paham tentang perbedaan yang berada disekelilingnya. Apabila hal itu dapat terwujud, negara ini telah sukses menjalankan paham multikulturalisme yang sejalan dengan salah satu nilai pancasila. Alangkah baiknya perbedaan mampu menyatu tanpa menghilangkan salah satu unsur keindahan yang dimiliki pihak lain.

Keindahan ini justru akan terlihat sepertihalnya kepingan mozaik yang menyatu dan menghiasi kehidupan masyarakat Indonesia. Jika memang warga maupun pemerintah Indonesia merasa memegang teguh semboyan Bhineka Tunggal Ika, sudah selayaknya pernikahan beda agama di wilayah ini dapat mulai diterapkan. Salam Keberagaman!

Referensi :

http://krjogja.com/read/143409/nikah-beda-agama-satpam-bunuh-diri.kr




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline