Revisi Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbaru telah menimbulkan kontroversi dan kritikan dari berbagai kalangan. Pakar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) telah melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan jajaran kabinet serta pimpinan DPR, termasuk Puan Maharani, mengkritik revisi UU MK sebagai alat untuk mempengaruhi keputusan hakim konstitusi dengan tujuan politik.
Feri Amsari, seorang pakar HTN dari Universitas Andalas, mengatakan bahwa revisi UU MK selalu memuat persoalan, dengan substansi yang menjadi alasan utama perubahan bukan membenahi lembaga pengadilan atau penguatan kelembagaan MK tapi kepentingan politik. Feri juga mencurigai bahwa revisi tersebut hanyalah alat sandera untuk kepentingan politik, dengan aturan mengenai masa jabatan hakim yang diatur dalam draf revisi UU MK tersebut yang menurutnya tidak logis dan mencurigai.
Perubahan yang dilakukan dalam revisi UU MK, seperti mengubah masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK, syarat usia hakim konstitusi, dan masa pensiun, telah dikritik karena tidak memperkuat MK secara substansial dan lebih seperti upaya untuk memenuhi kepentingan politik. Selain itu, mekanisme evaluasi atau penarikan hakim konstitusi (recall) melalui konfirmasi kepada lembaga pengusul juga telah dikritik karena dapat digunakan untuk mengabaikan ruang partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan
Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan UU MK telah beberapa kali dilakukan. Tercatat perubahan UU No.24 Tahun 2003 tentang MK menjadi UU No.8 Tahun 2011 mengubah beberapa ketentuan seperti masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK selama 3 tahun diubah menjadi 2 (dua) tahun 6 bulan. Perubahan UU MK ketiga sebagaimana UU 7/2020 mengubah masa jabatan itu menjadi 5 tahun. Syarat usia hakim konstitusi juga berubah dari 40, 47, dan terakhir 55 tahun. Masa pensiun yang berubah dari 67 menjadi 70 tahun.
Namun, kritik terhadap revisi UU MK terus berlanjut, dengan beberapa pakar dan ahli Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara menolak perubahan tersebut dan menganggapnya sebagai upaya untuk mempengaruhi keputusan hakim konstitusi dengan tujuan politik. Mereka berpendapat bahwa revisi UU MK tidak hanya mempengaruhi masa jabatan hakim konstitusi, tetapi juga dapat mempengaruhi independensi mereka dalam menjalankan tugas. Oleh karena itu, revisi UU MK haruslah dilakukan dengan hati-hati dan transparan, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, serta kemandirian dan independensi lembaga Mahkamah Konstitusi. Sebaliknya, jika revisi tersebut digunakan sebagai alat untuk mengendalikan atau menyandera hakim konstitusi demi kepentingan politik tertentu, maka hal tersebut akan merusak integritas dan otonomi lembaga tersebut serta melemahkan fondasi demokrasi sebuah negara.
Penulis: Galang cakra buana
STB: 4913
Prodi: Manajemen Pemasyarakatan B
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H