Lihat ke Halaman Asli

Manis Daunnya, Manis Bisnisnya

Diperbarui: 15 Desember 2016   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Makanan dan minuman manis bukanlah sesuatu yang asing lagi bagi keseharian masyarakat Indonesia. Gula, sebagai barang komplementer pemanis yang paling banyak digunakan di Indonesia dan seluruh dunia adalah salah satu komoditas yang permintaannya selalu ada. Pada tahun 2015/2016, konsumsi gula per kapita di Indonesia menurut United States Department of Agriculture (usda.gov) adalah sebesar 11,47 kg. Angka tersebut diperkirakan akan terus naik pada tahun 2016/2017 hingga 11.54kg per kapita.

Gula yang memberikan rasa manis kepada makanan dan minuman yang ia sentuh, juga memberikan sesuatu yang kurang manis kepada siapapun yang mengkonsumsinya terlalu banyak. Sudah sering sekarang kita mendengar akan banyaknya orang Indonesia yang menderita diabetes. Konsumsi gula yang terlalu banyak dan kurang gerak adalah dua dari beberapa alasan mengapa seseorang dapat menderita penyakit diabetes. Selain diabetes, gula juga dapat menyebabkan munculnya kerusakan pada gigi yang pada akhirnya membuat orang yang terlalu banyak mengonsumsinya menderita karang gigi.

Berangkat dari permasalahan efek dari konsumsi gula, maka masyarakat global menciptakan pemanis buatan manusia yang tidak berasal langsung dari alam. Sebut saja aspartame, Sacharine, lactitol, maltitol, sorbitol, dan xylitol. Walau niat dari pencipta pemanis buatan adalah untuk menghindari efek buruk dari konsumsi gula berkepanjangan, pemanis buatan ini ternyata juga memberikan efek samping apabila dikonsumsi lebih dari dosis yang dapat diterima oleh tubuh. Sebut saja gejala yang dialami adalah (data menurut FDA Amerika Serikat) migraine, kehilangan pandangan, mual dan muntah-muntah, perubahan detak jantung, dan yang paling parah adalah munculnya kanker terutama di bagian otak.

Yang tidak diperhatikan oleh sebagian masyarakat Indonesia adalah tanaman Stevia rebaudiana yang dapat dijadikan pemanis alternatif. Tanaman stevia ini berasal dari Amerika Latin, yang pada saat ini sudah tersebar ke penjuru dunia. Stevia sudah sejak abad ke-16 digunakan di Amerika Latin sebagai pemanis. Stevia memiliki tingkat kemanisan 300 kali lipat dari gula. Walau stevia jauh lebih manis, kalori yang dikandung oleh stevia sangat rendah bahkan mencapai angka 0 atau no calories. Karakteristik stevia ini cocok untuk orang yang menderita diabetes tetapi tetap ingin mengkonsumsi makanan dan minuman manis, orang yang menjalani diet ketat, dan setiap orang yang tertarik dengan produk ini. Selain itu stevia juga tidak mengandung gluten.

Di Indonesia, stevia dapat tumbuh di ketinggian 700-1500 m dpl dengan suhu lingkungan 20-24°C. Selain itu, untuk stevia dapat tumbuh, dibutuhkan curah hujan rata-rata 1.400mm dengan 2-3 bulan kemarau. Stevia dapat tumbuh baik di atas tanah andosol, podsol, dan latosol. Dengan persayaratan yang pas dengan keadaan iklim di Indonesia, stevia dapat tumbuh subur di tanah air tercinta kita ini.

Sampai saat ini Indonesia masih menjadikan pemanis berbasis tebu sebagai pemanis makanan dan minuman. Walau demikian, produktivitas pemanis berbasis tebu di Indonesia masih belum cukup untuk memenuhi permintaan yang ada di Indonesia, sehingga masih perlu dan wajib untuk melakukan impor dari luar negeri. Untuk mengatasi masalah kurangnya penawaran untuk memenuhi permintaan, sudah sewajarnya diperlukan pemanis alternative sebagai substitusi gula tebu. Pada titik inilah stevia dapat masuk sebagai pemanis alternative. Dengan tingkat kemanisan yang 300 kali lipat, stevia dapat mensubstisusi gula tebu dengan porsi yang lebih sedikit jika dibandingkan gula tebu.

Salah satu studi yang sudah saya lakukan terkait feasibility dari perkebunan stevia, hingga penjualan stevia dalam kemasan, stevia dapat memberikan keuntungan kepada investor dan produsennya. Salah satu alasannya, stevia masuk di dalam pasar blue oceanyang kompetitornya masih sangat sedikit, dan hampir semuanya berada di tingkat UKM. Maka dari itu apabila kita terjun ke pasar perjualan stevia dengan modal yang tinggi, kita dapat menjadi market leader.

Dengan investasi awal kurang lebih 86 miliah rupiah, nilai usaha dalam 20 tahun mendatang dapat menjadi 728 miliar rupiah dengan indeks profitabilitas sebesar 6,51 serta IRR sebesar 68,64%. Dilihat dari data di atas dapat kita lihat bahwa investasi dalam proyek stevia cukup menguntungkan. Belum lagi menurut riset dari FMI, permintaan stevia di dunia paling tinggi berada salah satunya di Asia Pasifik. Maka dari itu stevia juga dapat menjadi komoditas ekspor dikarenakan permintaan yang cukup luas.

Pembukaan lahan bisnis ini juga membuka kesempatan kerja setidaknya untuk 300 orang petani yang dibayar sesuai UMR, bukan sekedar petani yang disewa untuk kerja yang sangat keras untuk pembayaran yang tidak sesuai. Pembukaan lahan pekerjaan yang jumlahnya tidak sedikit itu dapat memberikan dampak baik kepada petani stevia yang nantinya bekerja dibawah naungan perusahaan yang dapat mengajarkan mereka bagaimana cara menanam dan merawat dengan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline