Lihat ke Halaman Asli

PASAR

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tidak hanya jaket yang akan mengusir angin mentol, orang orang di sebuah desa kecil menggunakan sarung untuk membungkus tubuhnya ketika pergi ke sebuah pasar di jam 01.51 pagi. Jalan Lemburawi-Ciparay penuh lobang seperti kehidupan buruh pasar, agak ramai, tanpa teriakan kondektur angkot di siang hari yang sepanas nahwu-sharaf setiap kali mobilnya melewati gerbang pesantrenku. Anehnya, orang orang begitu sunyi di pagi yang bayi, lalu di hari yang tua mengutuk seisi bumi. Apakah karena matahari?

Aku di sana, di sebrang gerbang yang lenggang, menunggu angkot berwarna matang. Bala-bala, cireng, gehu juga pisang adalah sarapan anak anak pesantren walaupun terkadang, temanku selalu malu jika uangnya kurang. Dan sebelum adzan berkumandang, aku menawarkan diri pergi ke pasar membeli bahan bahan untuk dagang, untuk temanku yang malang. Aku di sana ketika angkot datang, menunjuk gerbang, lalu kulihat ada begitu banyak tumpukan kentang, ibu ibu berselendang, dan seorang bapak yang kumisnya mirip parang. Setelah angkot ini melanglang, di dalam, di antara himpitan orang orang, aku tidak berhenti memikirkan telunjuk: dengan satu telunjuk saja aku bisa menghentikan angkot, apakah dengan kelima jari ini aku bisa melukai matahari?

Di pasar, begitu selesai mengumpulkan bahan, aku duduk di warung gorengan, menyaksikan orang orang yang tidak peduli dengan tiga buah truk bertuliskan ‘Aku Ingin Pulang’ juga ‘Rindu Yang Menikam’. Dan satu lagi, sebentar, truk itu belum selesai menurunkan sayuran. Ah, aku jadi ingat rumah. Ayahku seorang guru madrasah, mengajar sampai hidupnya susah. Ibuku adalah ibu yang cantik, mempunyai 9 anak yang baik. Aku mempunyai tiga ekor bebek hadiah dari kakek. Tapi karena keluargaku keluarga penyabar, bebek bebek itu dibawa petugas karena takut terinfeksi flu burung, katanya ini Program Siaga Desa sebelum virusnya menyebar. Aku mendengar kabar itu sore kemarin ketika meminjam henfon temanku yang bekerja di dapur pesantren. Dan, hey, lihat, laki laki bertubuh labu tidak mengangkut sayuran lagi. Aku bisa membaca tulisan truk terakhir itu sekarang: ‘Merana Di Negeri Orang’.

O, Tuhan, aku ingin segera meninggalkan tempat ini..

Aku mengangkat jinjingan, pergi ke ujung pasar, menghampiri surau setenang ikan pari yang memeluk papan di muka kaki seorang pedagang ikan. Sebelum sampai, ternyata adzan sudah di mulai. Aku ragu untuk pulang, berdiri di depan surau sejajar dengan pagar, menyaksikan muadzin seperti telah selesai meneriaki seseorang lalu mengambil air wudlu, shalat tanpa menunggu; sendiri. Aku terkejut, balik lagi ke tengah pasar, menoleh ke kanan, melirik ke kiri, tubuhku bergetar hingga kantung belanja ini terdengar seperti suara hujan yang tiba-tiba jatuh di atas genteng. Aku segera menyalip angkot meskipun sudah penuh dan ingin buru-buru turun. Sepanjang jalan, aku ragu-ragu lagi, apakah hari ini akan ada matahari?

Anak anak lain sudah pergi ke masjid. Aku tidak berlama-lama di dapur dan kini duduk di kamar, di depan lemari, memandang gantungan baju. Aku tidak berani membayangkan kejadian tadi lebih jauh. Aku hanya sampai pada sebuah pertanyaannya saja: sebenarnya, muadzin itu sedang menyalatkan siapa?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline