Tiga Tahun Tidak Pernah Absen
Tingginya elektabilitas PDIP yang ditunjukkan berbagai lembaga survei rupanya membuat beberapa kalangan khawatir kalau partai ini benar-benar menjadi pemenang pada Pemilu 2014 ini. Untuk membendungnya, masyarakat diingatkan akan catatan hitam ketika partai ini berkuasa 10 tahun yang lalu.
Salah satu yang sering diungkit adalah kebijakan Megawati menjual kekayaan alam Indonesia dan aset-aset negara dengan harga murah. Misalnya Indosat, BCA, BII, tangker Pertamina, dll.
Yang paling spektakuler adalah penjualan ladang gas Tangguh-Papua ke Tiongkok (Nama baru China secara resmi di Indonesia) yang diperkirakan merugikan negara 30 triliun pertahun selama 20 tahun.
Untuk membela diri, Megawati dan pendukungnya mengeluarkan argumen: menjual sumber daya alam dan aset negara dengan harga murah lebih baik dibanding menumpuk hutang luar negeri. Alasan ini dimunculkan dengan memanfaatkan isu, besarnya hutang pemerintah sekarang ini yang menembus 2.000 triliun rupiah. Kuatkah argumen ini? Mari kita liahat data hutang Indonesia sejak tahun 2000 sampai 2013.
Tahun 2000: Rp 1.234,28 triliun (89% dari PDB)
Tahun 2001: Rp 1.273,18 triliun (77% dari PDB)
Tahun 2002: Rp 1.225,15 triliun (67% dari PDB)
Tahun 2003: Rp 1.232,5 triliun (61% dari PDB)
Tahun 2004: Rp 1.299,5 triliun (57% dari PDB)
Tahun 2005: Rp 1.313,5 triliun (47% dari PDB)
Tahun 2006: Rp 1.302,16 triliun (39% dari PDB)
Tahun 2007: Rp 1.389,41 triliun (35% dari PDB)
Tahun 2008: Rp 1.636,74 triliun (33% dari PDB)
Tahun 2009: Rp 1.590,66 triliun (28% dari PDB)
Tahun 2010: Rp 1.676,15 triliun (26% dari PDB)
Tahun 2011: Rp 1.803,49 triliun (25% dari PDB)
Tahun 2012: Rp 1.975,42 triliun (27,3% dari PDB)
Tahun 2013: Rp. 2.023,72 triliun (24% dari PDB)
Tahun 2014: -
Dari data di atas khususnya tahun 2002-2004. Sangat jelas. Pembelaan para pendukung Megawati salah sasaran alias blunder. Ternyata pada era pemerintahannya, Megawati juga ikut menumpuk hutang Indonesia. Tidak pernah dalam setahunpun Megawati absen menambah hutang. Justru SBY yang sempat memperkecil hutang Indonesia pada tahun 2006 dan 2009.
Badai dan Tsunami
Megawati dan para pendukungnya juga membela diri dengan mengatakan situasi saat itu sangat sulit. Kebijakan melelang kekayaan alam Indonesia dan aset negara terpaksa dilakukan untuk menutup devisit APBN.
Ini juga alasan yang asal-asalan. Karena yang namanya devisit APBN di Indonesia setiap tahun terjadi. Begitu juga yang dihadapi SBY selama 10 tahun masa kepemimpinannya. Tidak pernah APBN kita cukup apalagi berlebih.
Situasi sulit yang digambarkan Megawati dan para pendukungnya juga sangat mengada-ada. Bukankah masa Megawati menjadi presiden sudah jauh dari puncak krisis Asia taun 1998? Habibie dan Gus Dur saja yang lebih dekat dari masa resesi ekonomi Asia itu tidak sampai mengambil langkah sejauh yang dilakukan Megawati.
Begitu juga SBY. Yang langsung menghadapi krisis global tahun 2008. Tidak sampai menggadai kekayaan alam dan aset negara untuk mengatasinya. Malah SBY berhasil membawa ekonomi Indonesia tetap tumbuh positip bersama tiga negara lainnya, yaitu Tiongkok dan India. Padahal krisis Asia 1998 tidak ada apa-apanya jika dibanding krisis global 2008. Kalau diumpamakan, krisis 1998 seperti badai, maka krisis 2008 adalah tsunami.
Presiden Ajaib Berikutnya
Dari fakta-fakta di atas. Sebenarnya sangat mudah disimpulkan. Tidak ada yang bisa kita harapkan dari pemerintahan PDIP.
PDIP sebenarnya sudah pas menjadi oposisi. Karena karakter orang-orangnya keras dan kritis. Sangat pintar mencari kesalahan orang lain. Akan sulit jika orang-orang seperti ini tampil di depan. Pepatah lawas tetap berlaku: tong kosong nyaring bunyinya.
Atau PDIP mengandalkan Jokowi untuk menutupi sejarah kelam pemerintahannya? Apalah bedanya Megawati dan Jokowi. Lihat saja statemen Jokowi yang membela kebijakan Megawati. Jokowi mengatakan langkah Megawati yang menjual kekayaan alam dan aset negara sudah pas.
Kapasitas Megawati dan Jokowi memang sebelas duabelas. Sama-sama tidak memiliki konsep untuk mengatasi masalah bangsa. Tidak memiliki roadmap yang jelas. Hanya mengandalkan naluri dan suara-suara pembisik.
Lebih parah lagi Jokowi, yang harus tunduk di bawah bayang-bayang pengaruh Megawati. Maka tidak berlebihan guyonan di dunia maya sekarang ini. Bahwa presiden kita berikutnya adalah sebuah boneka Pinokio yang bernama: Jokowati.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H