Pendidikan di Indonesia memiliki sejarah panjang. Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam perjalanan pendidikan tanah air adalah seorang pahlawan nasional yang juga merupakan Bapak Pendidikan Indonesia. Beliau adalah Ki Hadjar Dewantara.
Terkenal sebagai pelopor Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara tidak hanya membawa konsep pendidikan modern ke Indonesia, tetapi juga mendorong semangat kesetaraan dan inklusivitas. Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan bukan hanya alat untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga sebagai alat pemersatu bangsa yang membangun kesatuan di tengah keberagaman.
Pada awal abad ke-20, Indonesia masih dalam suasana penjajahan. Sistem pendidikan yang ada cenderung mendukung kepentingan penjajah. Pendidikan pada masa penjajahan Belanda pada awalnya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan bangsa Belanda. Pada masa itu, sistem pendidikan didesain untuk memenuhi kepentingan kolonial Belanda dan secara umum tidak memberikan akses yang adil kepada semua golongan masyarakat di Indonesia.
Misalnya pengajaran Bahasa Belanda yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda sebagai alat kolonisasi. Bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengajaran dalam bahasa Belanda bertujuan untuk menciptakan kelompok yang terbatas yang bisa mengakses pengetahuan dan keahlian, sekaligus menjauhkan masyarakat pribumi dari kekuatan pendidikan formal.
Pada perkembangan selanjutnya, pendidikan digunakan sebagai alat penjajah untuk mencetak tenaga kerja murah atau pegawai rendahan yang sangat diperlukan untuk perusahaan-perusahaan Belanda. Sistem pendidikan zaman kolonial Belanda merupakan sistem yang rumit karena penjenisannya cukup banyak sebagai realisasi dari diskriminasi sistem pendidikannya (Heru, 2014). Tujuan dan kebijakan politik pendidikan yang dibuat dan diterapkan oleh Belanda semata-mata hanya untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda.
Ki Hadjar Dewantara melihat bahwa pendidikan yang berbasis pada model tersebut tidak hanya memiskinkan budaya lokal tetapi juga mengabaikan potensi setiap anak bangsa, tanpa memandang latar belakang atau status sosial. Mengusung semangat ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, Ki Hadjar Dewantara menjadikan kesetaraan sebagai landasan utama pendidikan.
Filosofinya mencerminkan pentingnya memperlakukan setiap individu dengan adil dan memberikan akses yang sama terhadap pendidikan. Hal ini, tentu saja membuka jalan menuju inklusivitas karena untuk mencapai kesetaraan, setiap lapisan masyarakat, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus, harus diberikan tempat di dunia pendidikan.
Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan sebagai alat pemersatu bangsa menjadi semakin relevan dalam konteks inklusivitas. Beliau meyakini bahwa pendidikan harus menjadi pembentuk karakter dan jiwa bangsa. Pendidikan bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga tentang membentuk manusia yang memiliki rasa persatuan, menghargai perbedaan, dan mampu hidup berdampingan dalam harmoni.
Dalam upaya mencapai inklusivitas, Ki Hadjar Dewantara mengajarkan kita untuk melihat setiap siswa sebagai individu yang unik dengan potensi dan kebutuhan masing-masing. Prinsip holistik Ki Hadjar Dewantara, yang mencakup aspek akademis, sosial, emosional, dan spiritual, memberikan dasar untuk pendekatan inklusif yang tidak hanya fokus pada kecerdasan intelektual tetapi juga pada perkembangan menyeluruh siswa.
Salah satu nilai utama yang dapat kita petik dari filosofi Ki Hadjar Dewantara adalah keterbukaan dan penerimaan terhadap perbedaan. Dalam konteks inklusif, penerimaan terhadap keberagaman kemampuan dan kondisi siswa menjadi kunci. Pendidikan inklusif memerlukan lingkungan yang mampu mengakomodasi dan merangkul semua siswa, tanpa memandang latar belakang, kondisi fisik, atau kemampuan intelektual.