Lihat ke Halaman Asli

Antara Distorsi dan Konvensi di Media Massa

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Media massa sudah menjadi santapan sehari-hari masyarakat Indonesia. Fungsi media massa adalah alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat luas. Media massa hadir dalam berbagai bentuk, baik cetak maupun elektronik. Kedua bentuk media massa tersebut tidak akan pernah lepas dari penggunaan bahasa, karena bahasa adalah cara untuk menyampaikan suatu informasi kepada pihak lain. Penuturan bahasa yang baik dan benar menjadi tuntutan dalam media massa. Selain agar mudah dimengerti, informasi yang ditujukan pun tepat sasaran. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman, sering dijumpai penyalahgunaan bahasa pada media massa. Masalahnya tidak sesederhana itu, karena penyalahgunaan ini telah berkembang cukup pesat di masyarakat. Kaidah-kaidah bahasa Indonesia pun sering dilupakan.

Distorsi yang sering ditemui pada media massa adalah penggunaan bahasa asing dan penggunaan bahasa tidak baku. Jenis penyalahgunaan ini sering ditemui pada semua jenis berita, misalnya berita olahraga. Memang benar olahraga-olahraga yang diciptakan tidak berasal dari Indonesia, tetapi dari negara-negara Barat yang berbahasa Inggris, sehingga banyak istilah dalam olehraga tersebut menggunakan bahasa Inggris. Akan tetapi, jika istilah-istilah tersebut memiliki arti dalam bahasa Indonesia yang lebih mudah dimengerti, mengapa tidak disampaikan dalam bahasa Indonesia saja? Sebagai contoh, penjaga gawang dalam bahasa Inggris disebut goalkeeper dan sering disingkat GK. Dalam surat kabar olahraga, bukan penjaga gawang yang dipakai melainkan goalkeeper. Meskipun istilah ini sudah akrab di telinga pecinta sepak bola dan bagi mereka hal ini bukan masalah, bagaimana dengan yang bukan pecinta sepak bola? Contoh lain dari bidang olahraga adalah runner-up, yang berarti juara kedua. Mengapa harus dipakai istilah tersebut ketimbang juara kedua? Bagi orang yang awam berbahasa Inggris, mereka bisa saja menerjemahkan runner-up sebagai pelari atas, bukan?

Distorsi yang berikutnya datang dari berita sosial, politik, ekonomi, dan seni. Berita-berita yag disajikan dalam surat kabar dan majalah sering menampilkan kata-kata yang dimiringkan. Dalam kaidah bahasa Indonesia, kata atau istilah yang boleh dimiringkan adalah kata-kata serapan, nama latin dalam biologi, judul artikel, judul buku, dan penegasan kata seperti kata kecuali dalam soal-soal. Selama istilah tersebut memiliki arti dalam bahasa Indonesia, sebaiknya kata-kata tersebut disampaikan dalam bahasa Indonesia saja.

Saat ini pemerintah dengan gencar menggalakkan proyek KTP elektronik yang disebut e-KTP. Cara penulisan tersebut sudah benar karena e-KTP adalah singkatan. Berbeda dengan itu, berita yang menyampaikan pendapat para ahli atau koruptor menggunakan bahasa Inggris yang seolah-olah merupakan bahasa Indonesia baku. Sebagai contoh, Tomy Winata mengaku tidak memiliki ketertarikan dalam pembuatan e-KTP. Dalam pernyataannya, dia mengatakan ‘saya tidak ada interest’. Meskipun secara sekilas kita dapat mengetahui maksudnya adalah tidak ada ketertarikan, tetapi munculnya kata tersebut memulai distorsi. Dalam bahasa Inggris, kata interest memiliki banyak arti, yaitu ketertarikan, bunga, menarik perhatian, hak, dan keuntungan. Hal yang sama juga terjadi pada penggunaan kata bankable, affirmative policy, twin block, performance, passive income, chance, bank guarantee, stakeholder, dan security printing. Kata-kata tersebut dicitrakan sedemikian rupa sehingga para pembaca merasa terlarut dalam suasana modern, padahal di balik itu kesalahan besar telah terjadi.

Tidak hanya media cetak, media elektronik juga mengalami distorsi yang sama. Media elektronik sangat erat dengan bahasa lisan, misalnya pembawa acara dan pewawancara. Berita yang menyinggung Ujian Nasional (UN) biasanya mengacu kepada kecurangan. Di televisi, ditampilkan dan diucapkan kata yang tidak baku, yaitu contek. Contek sebenarnya adalah kata tidak baku, karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, entri contek merujuk kepada entri sontek, dengan arti mengutip sebagaimana aslinya. Fakta ini diperkuat dengan morfologi bahwa alomorf yang terjadi di kata menyontek adalah pertemuan imbuhan me- dan sontek. Di masyarakat banyak dipakai kata menyontek, tetapi kata dasarnya contek. Andaikan kata cinta dijadikan contoh, adakah kata menyintai? Masalah ini tidak berujung di situ karena ada contoh lain. Pelafalan nama asli Negeri Tirai Bambu di beberapa stasiun televisi sering dilakukan dengan menyebut caina. Pelafalan ini berdasar pada penulisannya, yaitu China. Di bahasa Indonesia, ini menjadi masalah tersendiri. Tidak ada penulisan China dalam setiap entri yang berhubungan dengan Cina di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Apakah ini berhubungan dengan konvensi di masyarakat?

Permasalahannya, apa yang menjadi penyebab media massa menggunakan kata-kata tersebut? Bercermin dari negara lain seperti Inggris, Amerika, dan Jepang, mereka tidak pernah memasukkan istilah bahasa Indonesia ke dalam penyajian berita mereka. Bahkan Jepang sudah memiliki kosakata serapan dari bahasa Inggris yang telah dibakukan. Apa yang terjadi dengan media massa Indonesia? Apakah penggunaan bahasa asing dilakukan agar tercitra berpendidikan tinggi dan prestise?  Bagaimana dengan Sumpah Pemuda yang mengatakan bahasa kita adalah bahasa Indonesia? Media massa menjadi ujung tombak bagi jalannya penyebaran informasi yang baik dalam kehidupan masyarakat. Selain sebagai sarana komunikasi, media massa juga berperan dalam pengembangan masyarakat. Jika media massa memberi contoh yang tidak baik bagi masyarakat, bagaimana nasib masa depan masyarakat? Jika hal ini terus dibiarkan, keaslian bahasa Indonesia akan hilang cepat atau lambat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline