Lihat ke Halaman Asli

Tidak Ada Negara Miskin, Kecuali Salah Kelola

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepulang dari program pertukaran pemuda di Jepang tahun 2004, beberapa teman menanyakan pengalaman kunjungan tersebut. Saya bercerita tentang sistem transportasi, pengelolaan sampah, sistem pendidikan, kebijakan pertanian, kemajuan teknologi dan berbagai pernak pernik budaya serta local wisdom. Namun rupanya bukan itu yang mereka ingin dengar. Dengan rasa bosan dan ketaksabaran, seorang teman akhirnya memotong dan mengajukan pertanyaan pamungkas, dan saya mengerti itu untuk mengakhiri obrolan. Dia bertanya, “apa kesimpulan terpenting yang bisa kita ambil pelajaran?” Pertanyaan basa-basi itu namun sangat menohok, cukup membuat saya gelagapan juga dan harus menjawabnya sesingkat mungkin. Setengah refleks, saya katakan bahwa hal yang membedakan kita dengan Jepang dan yang harus kita pelajari dari mereka adalah “manajemen”.

Itu adalah sepenggal cerita tujuh tahun lalu…Tapi hari ini, saya mengingat kembali dialog itu ketika Kamis malam tadi secara kebetulan menyimak program MetroTV “Managing the Nation”. Di pengantar acara, presenter Nadia Mulya memulainya dengan mengutip perkataan Peter Drucker bahwa sesungguhnya tidak ada negara yang miskin, yang ada adalah negara yang salah kelola. Kata-kata itu ditimpali lagi dengan kutipan dari Tanri Abeng bahwa manajemen dan kepemimpinan yang baik lah yang akan menciptakan kemakmuran sebuah bangsa. Program TV “managing the nation” merupakan program yang berusaha membedah best practices dalam praktek  manajemen yang direkonstruksi untuk menghasilkan model-model manajemen. Formatnya dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang telah diakui berhasil baik di bidang pemerintahan maupun swasta.

Bintang tamu kali ini adalah Joko Widodo namun lebih dikenal sebagai pak Jokowi. Beliau adalah walikota Solo. Bukan ‘sekedar’ walikota karena pak Jokowi ini berhasil terpilih dalam pilkada untuk masa jabatan kedua dengan perolehan suara 98 persen. Fakta politik ini sangat mengganggu keyakinan saya terhadap teorisasi politik yang menyatakan bahwa kualitas pendidikan masyarakat pemilih akan menentukan pula kualitas pemimpin dan kepemimpinannya. Masyarakat kota Solo, saya kira, tidaklah terlalu beda-beda amat dengan potret masyarakat pemilih di wilayah Indonesia lainnya yang dari aspek pendidikan formalnya rata-rata 60 persen adalah lulusan sekolah dasar. Tapi kenapa pilkada Kota Solo dengan potret pemilih yang sama tapi bisa menghasilkan figur pemimpin seperti itu?

Contoh kasus keberhasilan manajemen dan kepemimpinan di pemerintah kota Solo dimulai dengan cerita tentang keberhasilan program revitalisasi pasar tradisional sehingga cerita akhirnya bukan saja menjadi hanya berdaya saing, tetapi malah menjadi lebih murah dibanding pasar modern. Upaya ini diawali dengan relokasi ribuah pedagang kaki lima (PKL) ke tempat-tempat yang telah direncanakan pemerintah kota, namun dengan pendekatan humanis. Tak ada gusur-menggusur ala Satpol PP umumnya. Bagaimana caranya? Berceritalah pak Jokowi yang berlatarbelakang pendidikan sarjana kehutanan UGM ini bahwa upaya merelokasi PKL ke tempat yang disediakan pemerintah kota berhasil setelah pemerintah mengundang rembug para PKL tersebut sebanyak 54 kali !!! namun rahasia terbesarnya adalah pada saat rembugan berlangsung, para PKL itu disuap tepatnya disuapi makan siang atau makan malam.

Itulah pendekatan humanis yang dilakukan, kadang disebut juga pendekatan budaya. Intinya adalah rakyat dimanusiakan. Rakyat disapa dengan senyum dan keramahan pamong praja dan diajak berkomunikasi dengan tekun dan konsisten supaya pemimpin tahu persis apa yang benar-benar dibutuhkan rakyat. Seperti kata-kata bijak yang menyatakan bahwa pemimpin sejati adalah pemimpin yang bisa mendengar apa yang tidak diucapkan oleh rakyatnya, mendengar suara hati rakyat. Masya Allah, kalimat yang aneh dan sulit. Mendengar suara rakyat demo aja, kadang kita menjadi samar-samar karena terhalang dinding tebal dan pagar tinggi. Padahal demonstrasi itu adalah symptom kegagalan komunikasi. Padahal komunikasi itu, sebagaimana dipahami orang-orang humas, adalah interaksi dua arah, bukan satu arah, bukan instruksi apalagi pemaksaan. Komunikasi yang memanusiakan rakyat menumbuhkan trust, rasa saling percaya dan pada akhirnya mendorong partisipasi publik secara ikhlas.

Contoh kasus revitalisasi pasar tradisional hanyalah satu diantara berbagai keberhasilan manajemen dan kepemimpinan pemerintah Kota Solo lainnya, seperti KTP satu jam saja, Kartu Gold/Silver warga miskin untuk berobat di RS dan Puskesmas, paradigma baru kebijakan anggaran, dan lain-lain. Rupanya success story itu bukanlah sesuatu yang instant, bukanlah hasil jalan pintas. Dengan pengalaman sebelumnya di dunia swasta, Pak Jokowi membayangkan manajemen pemerintahan dengan membenturkannya dengan pemahamannya tentang manajemen perusahaan. Bagi mereka yang memiliki pengalaman di dunia swasta, pengalaman itu menjadi bekal yang sangat berharga ketika mereka berada di dunia pemerintahan. Dalam praktek manajemen di swasta, kita selalu akan ditanya, kalau anda diberi anggaran, berapa return-nya pada akhir masa anggaran.

Di pemerintahan, sudah sangat biasa dan sudah sangat hebat jika anda diberi anggaran, pada akhir tahun anggaran menjadi Rp. 0, artinya penyerapan anggaran 100%. Hebat, perencanaannya tepat seperti pelaksanaannya. Tapi return-nya mana? Memang return-nya tidak mesti berbentuk pendapatan, bisa juga benefit social-ekonomi, namun tetap harus terukur. Pak Jokowi mengubah tradisi itu dengan manajemen pemerintahan yang result-oriented menggantikan paradigm kuno yang masih dianut umumnya birokrasi di Indonesia: administrative-oriented.

Kebijakan khas birokrat adalah membagi anggaran kepada semua pejabat penanggungjawab berdasarkan pagu anggaran, bukan berdasarkan kelayakan proposal anggaran dan kegiatan. Semua orang harus dapat, baik yang mengajukan konsep yang jelas maupun yang kabuuur. Akibatnya jumlah kegiatan/proyek menjadi sangat banyak namun dengan anggaran yang kecil-kecil sehingga sudah anggarannya kecil tambah lagi cilakanya dengan konsep yang umumnya tidak jelas, membuat return-nya tidak signifikan, output-outcome-benefitnya tidak terukur. Banyaknya kegiatan juga melemahkan pengendalian, menyamarkan focus yang sebenarnya. Dengan pola penganggaran seperti itu, pemerintahan terlihat sibuk, tapi sejatinya tidak menghasilkan return. Output-outcome-benefit tidak menjadi aspek audit, yang penting secara administrative selamat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline