Lihat ke Halaman Asli

Gagas Mabrur

Menulis untuk Hidup

Wejangan dari "Simbah" untuk Anak Muda

Diperbarui: 1 Juni 2019   16:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(lok. dalam bus kota Damri Perak-Bungurasih)

Hari ini masih didalam Bulan Ramadhan yang hanya 5 hari lagi akan berganti. Dan hari ini juga aku akan mudik ke kampung halaman, rasanya sudah berlarut-larut aku menahan rindu dengan para keluarga. Pukul 10.00 wib, aku berangkat dari kota Bangkalan, kota dimana aku merantau mencari pendidikan tinggi. Kali ini aku tak bawa motor C70 bututku, ia kutinggalkan sendirian dipojok sudut gelap kontrakan. Ia lebaran kali ini berpisah sesaat demi tugas menjaga kontrakan biar gak kosong penghuni hehe.

Sampailah aku di kapal penyeberangan dari pelabuhan Kamal ke pelabuhan Perak, didalam kapal terlihat semua orang memakai ransel besar berisikan beberapa barang bawaan yang tak sedikit, ditambah lagi dengan 1 kardus yang tertenteng tangan kanan dan kiri. Semua kelihatan hendak bepergian jauh ataupun balik ke kampung halaman masing-masing. Begitu pula aku.

Saat ini, saat aku mulai mengetik cerita ini juga, aku duduk di luar tempat penumpang kapal berdampingan dengan bapak-bapak yang setiap kali menghisap-mengeluarkan asap dari mulutnya. Sembari menikmati angin siang hari yang panasnya semakin terasa pada tenggorokan kering yang sama sekali belum terlewati air sedikitpun dari waktu Subuh sampai Magrib nanti. Disebelah kananku terlihat seorang ibu dengan anak kecilnya yang duduk lesehan bersenda gurau berdua.

Pakaiannya compang-camping, dan ditangannya selalu ada aqua gelas kosong yang tiap kali ada orang lewat ditodongkan. Awalnya aku merasa iba dan sangat kasihan, namun setelah kupikir beberapa saat kemudian justru aku yang merasa kasihan dengan diriku, dan aku sadar, terkadang mereka lebih bahagia daripada aku yang tiap hari masih hidup pas-pasan, bahkan kurang, mudik ke kampung halaman pun gak bawa apa-apa. Kulihat lagi diwajahnya yang lusuh tak sedikitpun menampakkan kesedihan ataupun kemurungan. Tak lama kemudian ia menyapa dengan bahasa madura;

"Terro kema'ah cong?" 

"molea ka Tuban Buk"

"ohhh, iyuutt, teng-ngateh"

Setelah percakapan singkat tadi membuatku semakin diam menatap ombak yang menggoyangkan tubuh kapal ini. Sesekali aku tertarik menengok ibu itu lagi dan berbalas senyum dengannya. Lalu ia kemudian bertanya;

"hedeh mahasiswa Unijoyo?"

"enggih buk, ngkok mahasiswa"

"mon sakola pa sae aghin yeh"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline