Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Tidak Ada Kata Terlambat untuk Belajar Menari Tarian Tradisional

Diperbarui: 15 November 2023   01:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mbak Palupi, narsum Kotekatalk-151 (dok.Gana)

Aku ingat banget mengadakan pameran Indonesia yang selain menampilkan koleksi keindonesiaan milik kami, juga mengangkat foto karya teman-teman Kompasianer. Kebetulan, mami Kartika sedang keliling Eropa. Aku undang mami, dong untuk datang. Tapi karena mami datangnya atas undangan sponsor, nggak bisa sembarangan dolan ke tempatku dan menghadiri acara di museum.

Buntutnya, mami mengundangku untuk datang ke Wina "Gana datang ke sini, aja. Kita ketemuan di acara mami dengan universitas Wina." Rasanya seneng banget diundang maestro pujaan wanita Indonesia karena kekuatan batin dan perjalanan karirnya sebagai pelukis yang luar biasa. Tadinya kami mau datang berdua. Suamiku mau ikut tapi ternyata ada kunjungan teman bisnis, nggak bisa. Aku nekat berangkat sendiri ke sana hanya dengan hand carry. Selain lebih murah, cepat untuk check in, check outnya. Nggak ribet.

Nah, di sanalah, aku menari tarian Sunda, Bajidor Kahot di hadapan para tamu dari universitas. Aku diperkenalkan MC sebagai penulis buku tentang mami. Sayangnya, sampai hari ini buku itu belum terbit karena mami nggak mau diterbitkan sekarang. "Nanti saja, ya, Gana." Aku pun harus menunggu. Entah sampai kapan.

Selama di Wina, aku seneng banget kumpul dengan mami, mbak Lulu dan suaminya. Kami menginap di rumah salah satu dosen universitas tersebut. Tambah heboh karena mbak Lulu masak mendoan pakai cabai rawit. Yaoloh, rasanya seperti makan di warung pinggir jalan. Malamnya, aku dikeloni mami. Kami tidur seranjang, seperti saat mami ada aksi melukis bersama semua pelukis Jogja di Prambanan. Aku tidur di samping mami sambil nanti mijetin mami dan mami cerita banyakkkk banget tentang perjalanan hidupnya. Nggak terasa sampai cekikikan dan dikira mbak Lulu yang tidur di kamar sebelah, aku ini kuntilanak. Saking gelinya dengerin cerita mami Kartika, aku kebablasan ketawanya. Sungguh pengalaman tak terlupakan. Aku ini siapa, coba ...

Di acara itu, ada pak dubes Djumala dan mbak Palupi selaku Pensosbud. Itulah pertama kali aku kenal mbak Palupi. Staff itu sekarang gabung Koteka, nih. Seru. Terakhir ketemu mbak Palupi yang ikut Kotekatrip di Jakarta. Aku dikasih oleh-oleh dari Holland Bakery, nendangggg. Sama halnya dengan oleh-oleh yang dikirim lewat Gojek ke hotel tempat aku dipenjara karena masa corona. Sepuluh hari!!! Huhuuuuu ... sepuluh jutaaaa.

Lantas, setelah ngobrol ngalor-ngidul, aku tawari mbak Palupi yang sekarang sudah pensiun untuk mengurusi kegiatan offline Koteka.  Jadi koordinator. Ia berpotensi karena memiliki soft skill yang sudah diasah selama di kemenlu. 

"Mbak . Mbak Palupi Sabtu Ini sudah ada acara?Kalau belum, bisa jadi narsum di Kotekatalk Sabtu ini? Cerita tentang keindahan Wina dan pengalamanmu di sana jadi diplomat. Mbak pernah menari, kalau nggak salah ..." Tanyaku. Senang pinanganku disambut dengan positif.

Peserta zoom (dok.Gana)

Jadi moderator (dok-Gana)

Tak kenal maka tak sayang. Sebagai perkenalan ke Kompasianer, aku ajak mbak Palupi untuk wawancara di Kotekatalk. Kotekatalk-151 dihadiri 10 peserta. Sempat menyetel youtube sebagai awal sembari menunggu semua kumpul. Ia menceritakan pengalamannya sebagai diplomat di sana dan bagaimana ia menari tarian tradisional selama mengabdi.  Jadi diplomat perempuan harus waspada terhadap pelecehan seksual. Harus kuat luar dalam, ya. Apalagi nggak ada keluarga yang ikut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline