Tanggal 18 Desember jam 10.15. Saya mendarat di Indonesia. Senangnya bukan kepalang. Setelah dua tahun tidak berkunjung lantaran pandemi, akhirnya terkabul keinginan untuk mengunjungi keluarga. Perjalanan 24 jam terlewati. Badan rasanya sudah nggak karuwan setelah terkungkung di pesawat. Indonesia, kaki ini telah menginjaknya.
Di depan mata sudah banyak petugas yang akan mengecek kelengkapan syarat untuk boleh keluar dari bandara.
Saya serahkan formulir kedatangan "nothing to declare." Lorong yang dipilih dengan tanda hotel.
"Sendiri, bu?" tanya petugas.
"Iya, pak." Jawab saya lirih. Sedih juga keluarga nggak ikut tapi kalau ikut juga ribet begini. Kasihan, malah. Sebaiknya mereka di rumah saja.
Penumpukan penumpang dari luar negeri di meja imigrasi
Melewatinya, terlihat banyak penumpang pesawat yang duduk di lantai berkarpet depan sana. Yaoloh, ribuan, kalau satu palang jaraknya 1 meter, paling tidak ada 20 palang sampai depan. Kalau saya saja datangnya jam 10, mereka datang jam berapa coba? Menggenaskan.
Mereka itu menunggu pengecekan notifikasi dokumen di imigrasi di sebuah loket kecil. Seorang petugas berbaju seragam tentara duduk di depan komputer. Sedangkan petugas perempuan berseragam pink mirip darmawanita dengan sepatu pantofel hak 5 cm, berdiri di menghadap si bapak petugas.
Paling miris melihat satu botol susu yang tergeletak di lantai karpet. Mata saya menangkap seorang anak yang terlihat bosan menunggu. Bocah itu bermain dengan jarinya. Sementara itu, beberapa orang sudah tertidur terbaring di lantai bak di atas kasur.
Menggotong ransel pink, saya lewati imigrasi di bagian paspor Indonesia. Tak banyak orang asing yang ada di sana, bisa dihitung dengan jari. Sedih, ya. Pandemi merusak perekonomian, khususnya di sektor pariwisata.
Loket imigrasi berjajar satu baris. Saya maju ke loket yang kosong. Setelah mengucapkan selamat pagi, saya serahkan paspor. Beres, boleh mengambil bagasi.