Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Mencintai dan Menghormati Guru Itu Sesuatu

Diperbarui: 14 Januari 2021   04:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Malam hari sebelum tidur, saya mengecek email. Dari sekian banyak email, ada satu yang paling menarik. Itu dari guru agama tempat saya menimba ilmu di Jerman sampai tiga tahun mendatang. Si ibu yang mengajarkan kami 5 agama (Yahudi, Kristen, Budha, Hindu dan Islam), menjawab pertanyaan saya tentang berapa nilai agama saya untuk tengah semester ini.

Jawaban perempuan berambut pendek itu membuat saya meledakkan tawa.

"Kenapa, bu? Ada yang lucu? Dari sofa, suami menghampiri saya yang masih menghadap laptop di meja.

"Nilai agama dapat 1, nih." Tangan saya menunjuk pada layar, di mana surel baru saja saya baca.

"Wah, kalau begitu aku harus beli hadiah buat kamu. Kamu minta apa? Nilai yang lain bagaimana?" Halah, nggak usah! Suami berlagak royal. Untung saja saya bukan cewek matere, dari kecil tidak terbiasa mendapatkan hadiah walaupun nilainya bagus. Dan lagi, sudah punya semua. Lebih baik uang ditabung untuk keperluan lain. Iya, kan?

Beberapa jam kemudian, beberapa teman kelas yang dekat dengan saya, japri di WA. Mereka menanyakan apakah saya mendapat jawaban dari guru agama tentang nilai hasil ulangan. Tentu saja saya cerita apa adanya. Ternyata itu memancing kemarahan mereka karena dari kemarin-kemarin sudah bertanya, tidak dibalas-balas sampai hari ini. Mereka menyangka, si guru pilih kasih. Sengaja saya tidak cerita bahwa saya baru saja beberapa jam sebelumnya mengirim e-mail tapi langsung dibalas, sebab itu akan memperkeruh suasana. Saya nggak mau ibu guru jadi kambing hitam.

Segera saya tenangkan mereka bahwa mereka harus bersabar, bahwa mungkin saja sebentar lagi akan dibalas karena sedang sibuk. Merekapun mengiyakan dugaan saya.

Tulislah yang baik-baik

Tak berapa lama, saya merenung. Mengapa bisa begitu kejadiannya? Apakah ini ada hubungannya dengan pertanyaan kalimat yang saya kirim? Di surel saya, saya tidak langsung menanyakan nilai agama saya.

Pertama tentu menyapa dan menanyakan kabar beliau. Kedua, saya juga mengutarakan perasaan betapa online schooling itu sangat memusingkan. Kadang connect, kadang enggak karena Senin kemarin misalnya, guru dan siswa sekota ribut karena banyak sekolah yang tidak bisa online karena overloaded provider Alfa view yang dipakai banyak sekolah.  Akibatnya, proses belajar daring tidak bisa dilaksanakan dengan baik. Selain itu, semakin banyak tugas yang harus dikerjakan dan kertas yang harus dibaca. Menumpuk satu dengan lainnya. Kalau saya sehari 7-8 jam sekolah, kepala bisa panas memandang tumpukannya. Nyelip-nyelip begitu lah. Makanya berharap semua kembali normal, bisa bertemu dengan bu guru dan teman-teman. Ketiga, baru saya menanyakan tentang nilai saya. Sebagai penutup, saya mendoakan guru saya yang umurnya hampir 60 itu tetap sehat dan bahagia selama pandemi. Sayapun berharap bahwa minggu ini adalah minggu yang baik bagi beliau.

Isi surel dibalas dengan cepat dan rasa senang dari bu guru agama. Katanya, beliau mengucapkan terima kasih telah mengirim surat yang isinya manis dan baik sekali. Doa yang sama beliau kirim untuk saya. Sebagai penutup, nilai saya dikasih 1. Untuk Jerman ini nilai paling top. Sedangkan nilai paling buruk adalah 6. Kalau dulu waktu sekolah di tanah air, nilai 10 adalah nilai paling top, jika 1 malah buruk sekali, ya? Bagai bumi dengan langit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline