Pada awal penyebaran virus corona, dikhawatirkan dunia akan mengalami krisis ekonomi berkepanjangan dan tidak tahu kapan berakhirnya.
Akibatnya, mayoritas penduduk sedunia panik, harus berada di rumah dan perekonomian jadi carut-marut. Pemerintahpun kalang kabut untuk mengatasi keadaan. Semua negara tak terkecuali Jerman dan Indonesia mengalami kondisi ekonomi yang tidak menentu.
Sebenarnya, keadaan seperti itu bukan hanya pertama kalinya terjadi di tanah air. Masih segar di ingatan kita saat krisis moneter tahun 1998 yang menyebabkan krisis rupiah terhadap dollar melanda, membuat perekonomian Indonesia benar-benar terperosok.
Sama halnya dengan krisis tahun 2008 dan 2015 di mana BI merespon gejala perekonomian global dan domestik dengan kebijakan makroprudensial yang terukur, terintegrasi dan bersinergi. Bahkan BI sudah mengeluarkan buku Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) Nomor 26 edisi Maret 2016 "Mitigasi Risiko Sistemik untuk Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dan Mendorong Intermediasi di Tengah Tantangan Global dan Domestik." Sudah ada acuan supaya keuangan stabil itu bagaimana dari A sampai Z.
Bank Indonesia sendiri menyadari akan pentingnya penerapan kebijakan makroprudensial yang dapat melengkapi kebijakan lainnya dan mencegah terjadinya krisis sistem keuangan. Hal itu juga demi menangkap sinyal negatif.
Untuk itu, bank Indonesia mendukung stabilitas keuangan Indonesia melalui kebijakan makroprudensial.
Sedangkan empat langkah strategi operasional kerangka kebijakan makroprudensial BI sebagai pemegang mandat perbankan Indonesia adalah:
- Identifikasi prioritas risiko sistemik.
- Pengawasan dan monitoring makroprudensial.
- Perumusan dan evaluasi kebijakan.
- Protokol manajemen bisnis.
Apa itu Kebijakan makroprudensial?
Secara garis besar disimpulkan oleh Bank Indonesia bahwa kebijakan makroprudensial yang menjadi tugas utama mereka adalah seluruh upaya yang dilakukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Beberapa hal yang dilakukan BI antara lain:
1. Pengetatan moneter melalui penaikan suku bunga acuan sehingga tidak banyak orang ambil kredit.
Dalam acara nangkring bersama BI dan Kompasiana di Bali, saya membaca artikel yang menceritakan bagaimana BI menyanjung putri Indonesia Nadia Candrawinata yang membuka bisnis di Raja Ampat. Saya pernah ke cafe di mana ia dan crew sempat makan. Ada foto dan tanda tangannya di sana. Nadia dikatakan serius berbisnis dan telah memikirkan keuntungan dan kebuntungan mengambil kredit dengan bunga yang tinggi dari bank. Jadi menurut saya, BI berharap bahwa tidak sembarang orang atau setiap orang akan berpikir untuk mengambil kredit bank karena bunganya tinggi.