"Hi, ka, lowongan kerja di German hair beauty salon ada nggak ka?" Sebuah pesan dari seorang gadis dari Indonesia terkirim di message Instagram saya.
"Pasti banyak tapi kann gajinya dikit ..." Temen-temen saya yang kerja di salon seringkali mengeluh. Meskipun mereka menyukai kerjaan membuat orang cantik atau ganteng, tapi hidupnya nggak bahagia karena duitnya nggak nyampe buat hidup. Empatratus euroan sebulan atau 5 jutaan rupiah nyampe mana di Jerman? Meskipun anak-anak mendapat sokongan dari pemda, tetap saja, kurang. Hidup nggak hanya cukup makan bahagia.
"Och yaaa, dikit yaa." Untuk ukuran orang Indonesia, uang segitu banyak tapi kalau digunakan di Jerman, sangat kurang.
"Iya kira-kira 400 euro atau 5 jutaan sebulan. Sedang gaji yang bisa untuk hidup itu 1500-2000 euroan, kalau sendiri. Biasanya da program Ausbildung atau kerja sambil sekolah 3 tahun, gajinya segitu. Bisa untuk hidup (sandang, pangan, papan dan jalan-jalan). Jurusannya perawat, guru TK, marketing, tekniker .... Kamu usia berapa? Tahu aku dari siapa?" Saran untuk kerja sambil kuliah yang sangat banyak ditemukan di Jerman, saya beritahukan padanya. Masing-masing pemda selalu mencari bibit-bibit baru untuk dididik tiap tahunnya.
"Och mau dong persyaratan gimana tu beb, aku sering liat dirimu story sama mbak Christ. Umurku 36 beb heheh tapi kelihatan 26. Hehehe." Si gadis pasti tertarik dengan ide saya untuk mengembangkan diri. Usia bukan masalah. Lah wong saya usia di atas 40 tahun saja masih mau dan semangat, kok. Tetangga saya 50 tahun juga Ausbildung, kerja sambil sekolah (lagi). Mumpung dapat gaji. Apalagi yang muda-muda, ngiler. Iya, kan.
"Coba baca bukuku ya, yang ini." Satu gambar cover buku terakhir saya yang terbit November 2019 saya bagi. Isinya tentang bagaimana cara merantau ke Jerman dengan berbagai program, mulai dari Au Pair yang hanya butuh ijazah Jerman A1 sampai kuliah dengan C1 atau C2. Lengkap-kap dan asli dari sumbernya.
***
Buku yang saya maksud itu memang sudah lama saya persiapkan, begitu tahu saya banyak dikelilingi teman-teman Indonesia yang luar biasa dan berpengalaman merantau. Sayang banget kalau nggak diabadikan. Kebanyakan dari mereka nggak nulis, ada sih beberapa yang youtuban tapi makan kuota kan kalo setiap saat harus mantengin. Ditambah matanya jadi lelah dari layar. Lagian menurut saya, memegang buku akan semakin kusyuk dalam mendalami isi. Bisa dibuka kapan saja, dibawa ke mana saja, nggak perlu dicharge. Dan kesannya kalau orang baca buku sama pegang HP beda, deh. Sama-sama menunduk tapi imagenya lain.
Menulis buku juga salah satu "Gehirn Jogging" atau olah raga otak. Maklum, orang tempatnya lupa, kartu memorinya terbatas. Dengan menulis, otak saya ada exercise, latihan yang akan membuatnya fit sampai tua.
Selain itu menulis buku jadi menambah koleksi buku saya, buku juga bisa menginspirasi banyak orang. Kalau saya mati, buku itu masih ada, paling nggak bagi yang sudah membacanya. Siapa yang menulis tidak akan musnah ditelan zaman. Ada jejak di sana yang bisa dirunut.
Yang paling penting, dengan menulis buku, saya nggak perlu repot lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diperlukan. Semua sudah tertulis di sana. Si gadis di atas bukan satu-satunya orang yang bertanya tentang seluk-beluk "berjuang" di Jerman. Jadi anak rantau apalagi di luar negeri itu, menurut saya harus banyak mengalami penderitaan, kesulitan dan rintangan terlebih dahulu yang pada akhirnya akan membawa kesuksesan jika tekun, rajin, disiplin dan semangat. Semua rahasia, lika-liku dan uneg-uneg ada dalam buku. Sudah baca buku ini, belum?
Yup. Si gadis dan siapapun yang membutuhkan informasi, bimbingan, dapat mengambil manfaat dari buku yang saya tulis. Jika buku itu nggak best seller, pasti ada kesedihan di hati ini tetapi akan kembali berseri jika tahu, ada hikmah di sana yang nggak hanya untuk saya saja selaku penulisnya. Buku itu bisa bermanfaat bagi yang membutuhkan informasi tersebut dan membawa kesuksesan di masa mendatang.