Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Ramadan Selalu Berbeda di Sini

Diperbarui: 5 Mei 2020   06:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbeda tetapi tetap satu, puasa di masa corona (dok.Gana)

Dear Kompasiana,

Dear Kompasianer,

Apa kabar kalian di Jakarta dan sekitarnya? Semoga tetap sehat dan bahagia. Bayangin kalian work from home dan gantian piket ke kantor supaya program social distancing dan physical distancing mulus. Jangan sakit apalagi lupa, ya. Namanya kerja di rumah, pasti sudah rusuh karena campur dengan keluarga. Mau pegang laptop, eee pasangan jiwa minta tolong ini-itu, adaaa aja. Mau nerusin gawean, eee anaknya rewel. Mau ngerjain deadline, eee disuruh mami pesen makanan lewat daring. Halah.

Siapa bilang home office itu lebih mudah? Justru tantangannya banyak karena lawannya adalah diri sendiri; bagaimana melawan rasa malas, lupa atau capek, konsekuen dan tentu, disiplin waktu dan tugas.

Baiklah. Mumpung lagi dibolehin, mau curhat, ya.

Betul, soal momen tersulit di Ramadan tahun ini.

Arghh, sebenarnya, sama saja sih, nggak sulit-sulit amat. Intinya, ramadan di Jerman berbeda dengan Indonesia. Udah, itu saja.

Gimana nggak beda? Islam adalah golongan masyarakat minoritas di Jerman. Puasa di Jerman kesannya seperti angin lalu, sepi. Di Indonesia, puasa dilaksanakan ramai-ramai dan semua menyambut gembira. Pernak-perniknya pun kentara karena ini tak hanya soal agama tapi juga sudah menjadi tradisi turun-temurun dan lestari di negara yang memiliki 250 juta penduduk dan 6 agama hidup dalam toleransi.

Tetapi saya ingat lagi, bukankah puasa itu merupakan hubungan antara manusia dengan Tuhannya? Jadi meski sendiri atau sama-sama, tujuannya untuk Allah. Jadi, kembali pada niat pribadi masing-masing. Enjoy saja.

Hidup di luar negeri sangat lekat dengan sifat mandiri, berdiri di atas kaki sendiri dan nggak nggantungin orang lain. Termasuk menjalankan ibadah sholat lima waktu. Nggak harus ada bunyi adzan si muadzin yang diperdengarkan di radio, TV atau masjid seperti di Indonesia. Nggak ada. Tahu sendiri kapan harus sholat Dhuhur, kapan sholat Ashar, kapan harus membaca Al-Quran dan seterusnya adalah kewajiban pribadi. Oh, iya, sejak beberapa tahun terakhir saya nggak kataman baca Al-Quran tapi lebih membaca tafsirnya. Mengapa? Karena saya bisa baca, bisa nulis Arab tapi nggak ngerti artinya. Buat saya penting banget mengerti isi surat-surat dalam 30 juz itu ketimbang baca tapi nol informasi. Sekarang sudah sampai halaman tengah.

Oh, ya, soal adzan jadi terkenang. Saking banyaknya masjid di tanah air, terkesan adzan bersahut-sahutan dari satu masjid dengan masjid yang lain tak ubahnya ayam berkokok di pagi hari. Indah, ya di Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline