Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Melihat Gerhana Bulan Total di Jerman Selatan

Diperbarui: 31 Juli 2018   16:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari terbenam, hari mulai malam (dok.Gana)

Jumat, 27 Juli 2018 kami mengundang para tetangga untuk bakar-bakar. Bukan bakar rumah tapi nyateeee.

Grillen adalah tradisi masyarakat Jerman sejak dulu. Yang dibakar bisa Spareribs (dari sapi atau babi), Wuerst(sosis) Fleisch(daging babi, daging ayam, daging sapi atau daging kambing) atau Meerfruchte(ikan, udang). Kalau di Indonesia biasa yang dibakar, kambing (sate kambing), sapi (sate sapi), kerbau (sate kerbau) dan ayam (sate ayam). Aduh, kangeeeennn "Te, sateeeee ...."Oh ya, dalam obrolan kami sejak pukul 19.00 itu, kami membahas tentang gerhana bulan total yang akan muncul mulai pukul 21.00 sampai 103 menit ke depan. Beberapa orang menganggapnya "nggak luar biasa" dan beberapa yang lain bertekat "harus nonton." Makanya sejak pukul 21.00, kami riwa-riwi keluar rumah karena dari teras hanya bisa melihat matahari tenggelam. OMG, indahhhh sekali. 

Selama makan-makan dan duduk-duduk itulah, kami terpesona dengan keindahan matahari tenggelam. Hidup serasa tambah romantis karenanya. Rupanya yang diperlukan dalam hidup adalah ketika manusi menikmati hidup dalam makna sesungguhnya; sehat, bahagia, tercukupi lahir batin dan bersyukur.

Berada di depan rumah, kami mengamati langit yang memang kurang cerah. Kabut hitam di mana-mana di atas sana. Ah, alamat nggak bisa lihat. Kami merenung, wajah muram kami pasang. Merasa diolok-olok, "Anda kurang beruntung."

Halah, namanya rejeki, siapa tahu dapat? Satu jam kemudian, kami keluar rumah lagi dan mengamati. "Aduhh, bulannya masih ngumpet." Sedih rasanya, nggak bisa lihat. Mungkin rasanya seperti beli Lotto di Jerman tapi nggak pernah dapat hadiah duit.

Bulannya datang .... (dok.Gana)

Zoom bulan merah (dok.Gana)

Lama-lama warnanya memutih (dok.Gana)

Pukul 22.46, seorang tamu dan saya keluar rumah mencari peruntungan. Teriakan dari mulut saya menggemparkan seisi rumah, "Semua keluaaaar, bulannya tampak merahhh."

Berhamburan tamu dan anak-anak menuju sang bulan merah. Tiada kata yang terucap, hanya mulut yang menganga tanpa air liur yang tumpah. Grosse Gott, Allahuakbar, Tuhan Maha Besar.

Aduh panik, lupa nggak pasang tripod. Ambil gambarnya jadi goyang. Susah memang. Tangan saya segera mengambil handphone, klik-klik-klik-klik. Dapat tapi keciiiil banget karena zoomnya nggak sejauh kamera.

Huhhhh, beberapa menit kemudian hilang. Bulan merah menghilang ditelan kabut hitam lagi!  

Kami tertegun beberapa menit. Usai menikmati tampilan spektakuler yang sama katanya pernah terjadi 15 tahun yang lalu itu, kami kembali ke teras. Makan, minum dan ngobrol dilanjutkan. Memang hari itu hangat sampai 28-30 derajat, asyik duduk di luar rumah. Apalagi setelah nyate, ada makanan pencuci mulut seperti kue stroberi, lumpia, semangka dan kek Jerman di atas meja.

Alamakk, tamunya betah amat. Pantat mereka menempel di bangku teras, belum mau beranjak dari rumah kami menuju rumah masing-masing. Tamu baru pulang pukul 01.30, padahal berjam-jam mata saya sudah nggak kuat membuka. Maunya minta diganjel pentol korek api. 

Suami dan saya beresin semua yang ada di teras, lalu ke tempat tidur. Kami ngobrolin soal bulan yang paralel sama Mars itu. Sayang kurang jelas dan kurang lama lihatnya. Mata kami berpandangan. Tiba-tiba kami kepikiran untuk berdiri dan membuka tirai jendela, "Barangkali muncul lagi dan masih ada sisanya?" 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline