“Nanti Karin sama anak-anak sanggar diajarain nari ya?“ Begitu pesan mbak Nia, staff KBRI dalam percakapan via WA. Waduuuh, saya ini memang suka nari tapi bukan penari profesional. Apa nggak kebalik saya yang diajarin orang sanggar? Dulu saya hanya belajar tari dari ekstrakurikuler selama TK-SMA, sekarang di Jerman, ya belajarnya dari youtube.
Akhirnya, sehari setelah pentas tari Geyol Dhenok di KBRI dalam rangka launching buku saya "Exploring Hungary" yang diberi kata pengantar oleh ibu dubes paling cantik se-RI, ibu Y.M.Wening, saya ke sanggar.
Arghh. Kami telat sejam gara-gara ngejar copet di Szentendre. I'm so sorry, mbak Nia.
Setiba di sanggar Arum Melati punya mbak Irda, kami menari. Jadi saya nggak ngajarin nari ya, cuma menari bersama mereka tarian yang belum mereka tarikan. Oiii, yang nari kebanyakan buleeeee. Mereka adalah eks darmasiswa.
Eh, darmasiswa? Itu program kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk mengundang mahasiswa luar negeri belajar di beberapa universitas di seluruh Indonesia. Contohnya kalau di Solo ada ISI, di Semarang selain UNDIP ada UNNES, almamater saya. Selama dua semester, mereka akan mendapatkan uang sponsor sebanyak 2 jutaan per bulan. Jadi anak kos yang nantinya, seperti kata bu dubes, akan jadi “orang.“ Maksudnya? Ya, kalau sudah pernah mengenyam pendidikan di Indonesia, negara Asia yang berpenduduk 250 juta orang, lalu bisa mengembangkan diri ketika kembali ke negeri asal. Selain itu ada tindak lanjut setelah mendapatkan ilmu di bumi nusantara. Bahkan mendapat posisi atau pekerjaan yang wow.
Bekerja di lembaga pemerintahan di Hongaria
“Nasib anaaak kosss.“ Di mana-mana sama. Bu dubes di Budapest cerita bahwa dirjen kemenlu Hongaria yang saya jabat tangannya dan sempet ngobrol itu juga mantan darmasiswa. Pernah merasakan jadi anak kos yang harus puasa karena bahan makanan terbatas.
Dr. Sandor Sipos adalah direktur jendral kementrian luar negeri dan perdagangan Asia-Pasifik untuk Hongaria. Saya ingat pernah dikasih kartu nama sama si bapak yang bagus tenan. Bahkan sampai dua kali saking lupanya. Xixixi ... batin saya, nggak usah dua kartu ... wong satu kartu saja pasti bapak lupa saya kalau saya sudah balik ke Jerman. Yaaa ... namanya saya rakyat ya, pasti gampang dilupa.
Sebelum ketemu pak dirjen, waktu saya datang ke KBRI, seorang pemuda ganteng tergopoh-gopoh mengambil tas saya. Maksud Fabian, untuk dibawain ke dalam. Lumayan berat, 5 kg. Xixixi ... Ternyata, dia juga eks darmasiswa yang melamar sebagai sopir pribadi ibu dubes.
Kenapa dia lolos? Pertama karena dia bisa bahasa Magyar. Kedua, kan bisa bahasa Indonesia juga dari Darmasiswa. Ketiga, masih muda. Itu keuntungan mempekerjakan dia di KBRI yang punya jadwal super ketat. Saya yang lihat sudah capek sendiri. Two thumbs up!
Oh, ya, itu anak, suka ngomong kata “sembarangan.“ Karena konteksnya salah, akhirnya jadi guyon anak-anak. Saya doakan, le ... kamu jadi orang.