Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Bertengkar dengan Anak Lain, Betulkah Anak Kita Selalu Benar?

Diperbarui: 1 Maret 2017   06:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kata orang, anak adalah permata hati. Tanpanya, tak ada kekuatan supranatural yang mampu menguatkan diri orang tua dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Anak menjadi tumpuan harapan masa depan sebuah keluarga. Bahkan, menurunkan klan sebuah keluarga. Anak juga menjadi penyemangat untuk membuat hidup orang tua lebih baik dan mapan, dari waktu ke waktu.

Sebaliknya, ada orang tua yang merasa memiliki anak adalah beban. Membunuh anak di dalam kandungan, membuang anak di sampah atau sungai ketika lahir, tak punya waktu menemani mereka dari masa kanak-kanak hingga dewasa karena sibuk sendiri, tidak merawat dan mendidiknya dengan baik dan benar, mengusir dari rumah karena kelewatan serta entah apalagi....

Di waktu lain, orang tua yang tidak dianugerahi titipan berupa anak, hanya mampu  berharap.

Manusia oh manusiaaaa.

Oalahhh, ngobrol soal anak nggak pernah ada habisnya.

Anak saya selalu benar, anakmu yang salah

Pernah kejadian, kotak pos kami berisi surat berisi kata kotor dari anak tetangga, 5 tahun. Setelah ketemu dengan ibunya, saya minta klarifikasi. Betul bahwa si ibu yang mengajari menulis kata kotor dan mengijinkan anaknya mengirim surat ke anak saya. Tentu saja saya marah, pertama, mengapa ada seorang ibu mau mengajari anaknya hal buruk; menulis kata kotor dan mengijinkan mengirimnya? Kedua, si ibu mengatakan bahwa anaknya yang benar dan anak saya yang salah. Mana mungkin?

Katanya, surat itu ditulis karena anak saya bilang sepeda anaknya kebesaran. Nggak pas. Yang punya sepeda mengadu ke ibunya. Yang beli sepeda nggak terima. Akhirnya saya bilang, ini urusan anak-anak, biarlah anak-anak menyelesaikan sendiri. Orang tua nggak usah ikut-ikut. Anak saya juga ikut saya nasehati untuk lain kali, memberikan komentar yang tidak menyinggung perasaan anak atau orang lain. Jaga mulut dan hati sejak dini.

Iapun ngeloyor pergi. Kasus dipetieskan tapi surat masih saya simpan sampai hari ini.

Setahun kemudian, di sebuah kolam renang. Si ibu berseru kepada anak saya, “Jangan ganggu anakku.“

Merasa anak saya hanya berenang dalam sebuah klub tim penyelamat DLRG, nggak cari gara-gara, ia mengadu pada saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline