Pulang ke Indonesia adalah sebuah mimpi yang selalu membuat saya berbunga-bunga. Jarak dan waktu Jerman-Indonesia yang jauh, kadang membuat saya selalu berpikir; selain mengunjungi orang tua dan saudara, apa yang bisa saya lakukan agar pengeluaran yang tak sedikit itu berhikmah?
Pengalaman di SLB
Adalah sebuah Sekolah Luar Biasa di Jl. Supriyadi No 12. Semarang. Sekolah yang tak jauh dari tempat saya tinggal di rumah orang tua itu bukan tempat yang asing lagi. Selama mengabdi sebagai koordinator sebuah LSM internasional di Semarang, SLB Widya Bakti adalah sasaran kami untuk mengadakan kegiatan. Mengirim relawan asing dan lokal untuk berinteraksi dengan anak-anak yang butuh perhatian itu selama 1-2 minggu bahkan ada yang setahun (program LMTV-Long Mid-Term Volunteer). Bukan, bukan hanya anak-anaknya, bapak ibu guru yang ada di sana juga. Sudah susah pula merawat dan mengajar anak-anak luar biasa itu, masih rendah pula gajinya. Apa Kompasianer pikir mereka sejahtera? Saya kira tidak. Harus usul sama siapa? Pemerintah? Jangankan sekolah luar biasa ini, sekolah negeri yang ada di pelosok negeri saja banyak guru yang tidak digaji, dihonor saja atau tidak juga diangkat sebagai guru tetap (PNS). Oh, Indonesia, bermimpi bahwa kesejahteraan para guru Indonesia setara dengan manager di kantor-kantor kota.
Nyatanya, kepindahan kami ke Jerman membuat kegiatan itu tak lagi mengisi jadwal.
Sebuah hari yang indah ketika saya pulang dan menyempatkan diri ke sana. Hanya dua menit jalan kaki sampai.
“Selamat siang ...“ Sapa saya. Ketukan pintu tadi telah membuat ibu guru Tri membukakan pintu. Anak-anak berhamburan menuju saya. Barangkali mereka mau bertanya, siapa orang ini berani-beraninya mengganggu kelas tanpa ijin.
“Siang ... eee .. mbak ...“
“Gana, Bu. Dulu yang dari IIWC.“
“Ehhh iya ... saya ingat ... eh, anak-anak kok malah melu-melu. Ayo duduk yang manis.“ Ibu guru menghalau mereka untuk kembali ke tempatnya masing-masing. Ibu Tri saya kenal sejak LSM berinteraksi dengan SLB. Ditambah, belakangan ibu Tri punya hubungan dengan bapak ibu saya lantaran suaminya ikut kursus medharsabda pranatacara.
Segera saya sudahi basa-basi. Saya ingin mengganggu kelas selama 30 menit untuk mengajar bahasa Ingris, bahasa Jerman, menyanyi dan berbagi hadiah dari Jerman.
Tentu saja ibu Tri dan asisten, yang waktu itu adalah PPL dari UNNES Semarang segera membukakan pintu ruang kelas lebih lebar.