Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Rasanya Puasa di Jerman

Diperbarui: 4 Juli 2016   19:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tak terasa, hari Raya Idul Fitri segera tiba. Tak terasa sudah hampir sebulan berpuasa. Haaaa ... banyak bolongnya. Tak hanya karena saya wanita yang dapat diskon sebulan sekali tapi juga kadang sering bepergian di akhir pekan, membuat saya tidak berpuasa. Bagaimanapun, saya bersyukur masih mau dan bisa puasa di Jerman. Sekarang, mau kilas balik yang saya jalani selama di Jerman, khususnya tahun ini selama berpuasa.

Pemahaman orang Jerman tentang puasa

“What about you, Gana? Tee ... Kaffe?“ Tanya seorang murid laki-laki. Ia menawari saya, mau minum teh atau kopi.

“Sorry, I’m fasting.“ Usai menjawab, saya lalu berdiri menuliskan kalimat itu di atas papan tulis hijau di kelas. Kalimat itu tidak ada di dalam buku dan pasti masih asing dalam kosa kata mereka tapi penting untuk diterangkan karena saatnya tepat. Bukankah Jerman banyak orang Turki dan dari negara pemeluk Islam lainnya, yang melakukannya? Mereka pantas tahu tentang ini. Tak perlu ditutup-tutupi. Tak perlu malu, meski mayoritas penduduk Jerman adalah Katholik.

Yup. Itu kejadian pada minggu pertama bulan puasa, saat kursus bahasa Inggris di Volkshochschule. Biasa, kami memang selalu melakukan repetition tiap unit. Pengulangan percakapan dari unit satu sampai unit 15 buku Easy English A1.1 terbitan Penerbit Cornelsen.

Setelahnya, kami berdiskusi sebentar tentang puasa. Banyak kejaran pertanyaan yang mereka lontarkan pada saya:

  • Mengapa orang Islam berpuasa?
  • Bagaimana mungkin sehari tanpa minum?
  • Kalau tanpa makan mungkin masih bisa, kalau minum?
  • Bukankah itu bisa bikin dehidrasi dan tidak menyehatkan?
  • Bagaimana dengan merokok?
  • Anak-anak harus melakukannya pada usia berapa?
  • Makan pagi jam berapa?
  • Makan malam jam berapa?
  • Mengapa harus menunggu matahari terbenam?
  • Apa ada orang puasa lalu jatuh sakit?

Dengan sabar saya mencoba menjelaskan. Tanggapan mereka?

  • Paham dengan penjelasanmu. Saya seorang perawat. Dulu di rumah sakit, banyak orang disuruh puasa setelah dan sebelum OP (operasi).
  • Oh, ya. Teman sekantor saya orang Turki. Dia bilang tidak bisa ikut makan waktu kami adakan pesta di kantor. Dia lagi puasa.
  • Kalau saya, mana tahaaaan? Nggak bisa kalau disuruh puasa, nggak boleh makan nggak boleh minum.
  • Kamu hebat sudah melakukannya sejak kecil.
  • Wah, susah ya kalau kamu puasa di negeri orang. Sudah lebih lama, sendirian lagi. Temannya sedikit.
  • Dan masih banyak lagi.

Begitulah. Sepertinya, di Jerman sudah banyak orang yang tahu tapi tidak juga paham mengapa masih banyak orang yang melakukannya.

Saya masih ingat ketika suatu hari ada pesta musim panas di SD anak kami minggu lalu. Karena anak-anak pentas, kami datang. Saya bahkan menyumbang beberapa kue untuk dijual dan didonasikan untuk dana sekolah. Sepertihalnya ibu-ibu yang lain. Ngiler, banyak makanan tapi puasa tetap jalan terus. Ketika panas sampai hampir 30 derajat itu menyengat kami selama 3 jam duduk tanpa tenda, kami melihat beberapa orang Turki duduk makan sama minum.

“Buk ... itu orang Turki, kok nggak puasa. Malu ...“ Suami saya memberi isyarat dengan gerakan kepala.

“Puasa kann ibadah pribadi, pak. Terserah orangnya. Itu tanggung jawabnya dia. Nggak usah ngurusin. Urus diri sendiri saja belum tentu bisa.“ Meski kami berbicara dengan bahasa Indonesia, sepertinya mereka tahu apa yang kami bicarakan. Mereka memandang kami dan menghentikan acara makannya. Barangkali karena kami memandangi mereka juga. Haha.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline