Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

[Fiksi Kuliner] Nasi Kuning

Diperbarui: 9 Juni 2016   20:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nasi kuning ( Dok. Gana)

Dok. FC

Gaganawati No. 41

“Ton Fils fait des betitses“ Katamu waktu itu. Bibirmu yang tipis dan merah, menebar pesona. Berharap bahwa anak lelakiku adalah anak lelakimu juga. Aku hanya menunduk malu. Tak ada sepatah kata pun yang meluncur dari bibirku yang tebal.

Bukan. Aku tidak sedang hamil. Aku kira, itu hanya rayuan gombal Jacques, pria Belgia yang sudah sebulan kukenal. Heran, ia jatuh cinta padaku dan hendak menikahiku. Kupandangi kaca. Tak ada yang istimewa dari wajah dan badanku. Mengapa ia ingin memilikiku?

Kepalaku berkali-kali menggeleng. Hmm ... pria seganteng Lorenzo Lamas dari serial “Renegade“ itu bisa memilih gadis mana saja yang ia mau di dunia ini. Jika pria berambut panjang yang selalu dikucir kuda itu bersikeras memilihku, aku justru bimbang dan tetap saja penuh tanda tanya. Aku takut kalau apa yang ia ucapkan, hanyalah sebuah fatamorgana. Kasih tak sampai.

***

Emak, bulik dan budhe sudah sibuk di dapur sejak Shubuh. Bilik bambu yang dibuat khusus di pekarangan belakang rumah kami itu tampak menghitam dari kepulan asap kayu pembakaran.

Emak mususi beras, mencuci beras biar air berwarna susu itu hilang. Berkali-kali tangannya mengaduk-aduk beras dan membuang kutu-kutu beras yang nakal dan mengambang.

Bulik berkali-kali nyebul, meniup kompor batu bata yang diisi kayu bakar. Api menyala lagi, setelah sebelumnya, sempat mati karena air ceret tumpah!

Budhe duduk di atas dingklik, kursi kecil itu mampu menampung badannya yang tambun. Perempuan umur 60 tahunan itu sedang menghaluskan bumbu-bumbu nasi tumpeng. Ada serai, kunir/kunyit, garam, bawang merah, bawang putih, gula, kemiri, lengkuas, daun jeruk dan daun salam. Samar-samar, kudengar sendau-gurau mereka. Membicarakan kami, Jacques dan aku. Aku malu.

Hari ini, kami tumpengan nasi kuning. Tumpeng yang mengerucut ke atas langit, setinggi  permohonan kami kepada Gusti Allah. Berharap Tuhan memberkati kami, dua jiwa yang ingin disatukan. Selametan, kata orang Jawa. Mensyukuri jodoh yang diberikan Allah padaku, putri bungsu keluarga Brawijaya. Aku masih ingat, waktu kenalan di warung, Jacques bisa makan sebakul nasi kuning! Makanya, tumpeng kali itu, berwarna kuning.

Wajah-wajah tampak cerah dan tawa di mana-mana. Aku tersenyum. Malam ini Jacques datang ke rumah, melamarku. Ia tidak sendiri, ada beberapa kawan dan tetua yang mau jadi wakil orang tuanya. Papa dan mamanya tak setuju kalau anak tunggal dari klan keluarga kaya Van den Boom itu menikahi perempuan desa jelek sepertiku. Bisa kumaklumi kalau mereka tak mau hadir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline