Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Motret Bapak Ini Main Catur di Stuttgart? Bayar Rp 30.000!

Diperbarui: 12 April 2016   11:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Stuttgart. Siapa yang nggak pernah dengar ibu kota negara bagian Baden-Württemberg ini. Kota yang kondang dengan Mercedes Benz, Porsche dan ... Schlossplatz! Yup. Tempat terakhir sangat ramai dikunjungi orang. Selain orang pada mau belanja di Königstraße di mana toko seperti Zara, Orsay, H&M dan lainnya, juga keliling area publik yang menarik itu. Lihatlah. Ada seniman jalanan yang menampilkan atraksi menarik seperti levitating, pantomim, orang-orang duduk di cafe atau taman sembari menikmati matahari dan lalu-lalang orang, anak-anak berlarian di rerumputan. Pokoknya ... seru!

Nahhhh, namanya Gana. Kalau sudah bawa kamera atau Handy, rugi dong kalau nggak jeprat-jepret. Gatelll. Lagian, hal itu sudah saya lakukan di Jerman hampir sepuluh tahun ini. Tuman. Iya, memotret! Aspret. Arggghh ... Sesering-seringnya memotret akhirnya akan kena batunya. Rupanya, saya kurang waspada, saya kena denda. Kapok lombok, wissss! Kapok dan ... besok lagi.

Hmm ... Ceritanya, suatu sore, kami segera bergegas ke gedung museum tempat nonton wayang kulit. Itu tuh, yang dalangnya profesor dari Amerika yang ngajar di Inggris. Ki Dalang Ngabehi Matthew.

Eeee ... lah kok mata saya tertarik pada kerumunan yang menonton orang main catur. Tapi yang main catur bukan mas Pepih Nugraha lho. Sang founder Kompasiana memang  baru-baru ini ngadain tur bersama keluarga, keliling Eropa termasuk di Jerman....

[caption caption="Malu bertanya, denda di jalan; 2€!"][/caption]

Kembali ke atraksi main catur. Halah-halahhh ... yang main dua, yang nonton orang duapuluhan. Herman. Seperti gula dikerubutin semut. Nah ... mau ikut menyimak, saya mendekat. Karena dari belakang nggak asyik lihatnya, saya pindah depan yang masih lowong.

Seorang pria tua, yang kalau dilihat perawakan dan aksen Jermannya, bukan orang Jerman tiba-tiba mengagetkan saya dengan kalimatnya:

“Anda harus bayar 2 €!“ Matanya menatap saya lekat-lekat, tak lama kemudian kembali konsentrasi pada papan catur agar bisa mengalahkan sang penantang. Setiap penantang harus bayar 1€. Entah kalau menang dapat apa ....

“Hah? Untuk apa?“ Shock, belum pernah seumur-umur memotret di Jerman lalu disuruh membayar. Pernah, sih di Charlie Check Point Berlin, ada yang meminta 2 € tapi itu sebelum berfoto (selfie/wefie) bersama para serdadu palsu yang diperankan anak-anak muda. Kalau cuma memotret mereka, gratis lah. Lah ini ... ladalahhh! Mana orang-orang di sekitar saya nggak ada yang komentar. Suami saya sudah jalan jauh sama anak-anakkkkkk. Paaaaaaaak .....

“Makanya, kalau mau motret orang nanya dulu. Tuhh ... saya sudah menuliskan kalau memotret harus menyumbang 2€“ Si bapak menunjuk sebuah kertas kecil di meja, dekat papan catur. Walahhhh ... tulisan sak-upil gituuu ... mana lihat? Mana saya nggak pakai suryakanta.

“Lah saya nggak lihat, maaf“ Ngotot. Hahaha ... saya ngotot, saudara-saudara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline