Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Mengenal Sultan Demak II

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13789134212110030304

„Sugeng enjang … punika Rama? Panjengenan wonten pundi?“ Setelah telepon berdering dan diangkat bapak saya, si pria mengucapkan selamat pagi dan menanyakan apakah yang menerima telepon di rumah kami itu, benar ayah saya. Penelpon disana menanyakan dimana keberadaan pengukir jiwa raga saya itu.

„Oh, taksih wonten nggriya. Saking pundi nggih punika?“ Bapak sudah siap berangkat dari rumah menuju perhelatan 6 pemuka agama di vihara watu Gong. Beliau menanyakan siapakah gerangan yang menelpon.

„Ngglagah wangi. Kula sampun wonten mriki.“ Ternyata, beliau adalah sultan Demak yang baru saja dilantik di Aceh, D.Y.M.M Sri Sultan Surya Alam Joyokusuma.

***

[caption id="attachment_287442" align="aligncenter" width="474" caption="Sultan Demak II dan turis Perancis,JB Vernerey"][/caption]

Saya tertegun. Saya lahir di Semarang dan lama pula tinggal disana. Kota ATLAS ini tak begitu jauh dari Demak. Tak sampai satu jam sudah sampai. Bahkan dahulu, sewaktu KKN, saya ada disana. Begitu pula saat bergabung dengan LSM, kami banyak mengirimkan relawan asing dan lokal ke kota ini. Namun tak sekalipun saya mengira bahwa kota ini masih memiliki seorang sultan. Demak sendiri terkenal pernah memiliki kerajaan Islam pertama dan terbesar di wilayah pesisir, pantura di pulau Jawa (dan memiliki hubungan erat dengan kerajaan Majapahit).

Saya memang biasa mendengar kabar berita raja-raja Jawa seperti sultan Hamengkubuwono dan Pakubuwono. Sayang, tidak terlalu banyak soal kelanjutan kasultanan Demak. Mungkin belum. Nah, kota kecil yang saya katakan sangat khas karena bisa melihat sungai mekong (red : mepe bokong alias menjemur pantat saat BAB di aliran air pinggir jalan besar) ini, memang banyak memiliki cerita rakyat seperti kisah Sunan Kalijaga.

Ketakjuban saya bertambah tentang hadirnya keturunan sultan Demak (part II) ini, begitu bertemu dengan beliau. Sultan itu amat bersahaja, sederhana dan ramah pada siapa saja. Bahkan, beliau adalah orang pertama yang datang ke acara silaturahim 6 pemuka agama di vihara Avalokitesvara Budhagaya Watugong ini, hadir 30 menit sebelum acara dimulai. Orang Jerman saja seperti Napoleon (datang 5 menit sebelum acara dimulai, bukan 30 menit). Ugh. Masih sepi. Barangkali hanya pendeta Basuki saja yang sudah wara-wiri menyiapkan acara. Program ini memang beliau pandegani.

[caption id="attachment_287443" align="aligncenter" width="497" caption="Sultan Demak dan satu pastor katolik"]

13789135061320393318

[/caption] [caption id="attachment_287444" align="aligncenter" width="494" caption="Bersama sultan dan para tokoh budaya"]

13789135591293491915

[/caption]

Siapakah Sultan Demak II ini?

D.Y.M.M (Duli Yang Maha Mulia) Sri Sultan Surya Alam Joyokusuma atau terlahir dengan nama asli Raden Sumito Joyokusuma itu lahir di kota Demak pada tanggal 6 Maret 1972. Entah mengapa, beliau sendiri heran ada desas-desus bahwa selain lahir tahun itu, juga memiliki tahun kelahiran kedua (saya lupa tahun berapa). Dalam sebuah diskusi dengan para tamu yang hadir, beliau mengatakan, sewaktu kecil, malu menyandang gelar „Raden“.

„Pak, aku isin diparabi Raden. Raden kok kere.“ (red: Pak, saya malu menyandang gelar Raden karena menjadi orang miskin (harta). Baru setelah diterangkan sang ayah Raden Sugiman Giri Atmojo dan Ibu Asmirah Bodin Soekerto, beliau mengerti bahwa keturunan ningrat itu tidak diukur dari jumlah hartanya (kaya-miskin). Riwayat keturunan kesultanan itu seperti halnya keturunan para raja di Indonesia dan negara lainnya, berdasarkan hubungan darah (bukan harta). Raden Sumitro memiliki keturunan sultan Bintoro Demak.

Seperti kebanyakan nama-nama orang Jawa, nama beliau memiliki makna luas; Su=lebih/tinggi, mita (sasmita)=cita-cita/pengetahuan/ide/gagasan/wangsit,Jaya=sukses dan kusuma=bunga. Jadi orang tuanya berharap bahwa beliau memiliki keinginan yang lebih untuk menuju masa depan yang lebih baik dan mengharumkan bangsa dan keturunannya.

Di atas panggung dengan empat kursi, Sultan Demak ini menceritakan bahwa beliau adalah keturunan dari Kanjeng sultah Fatah Syah Alam Akbar atau Kanjeng Sulton Adil Suryo Alama I dan Kanjeng Sunan Kalijaga yang menurunkan panembahan wijil dan HB III Yogya.

Sejak kecil, raden Sumito mendapatkan banyak ilmu dari orang tuanya (pengobatan, mendukung pendidikan formal, silat dan tenaga dalam, sosial/bermasyarakat dan sebagainya). SD dan SMP dihabiskan di Kenep Mangunjiwan, Demak. Begitu pula masa SMA. Salah satu ilmu kemasyarakatan diterapkannya dalam menentukan satu dari banyak undangan dalam satu hari. Dari lima undangan (sebagai saksi nikah seorang kerabat, dan dua undangan lainnya, beliau tegas menentukan untuk hadir dan menjadi pembicara di pertemuan 6 agama di vihara Watugong dengan alasan demi kemaslahatan bersama, lebih utama).

Dalam acara itu beliau mengatakan bahwa sebaiknya masyarakat mencontoh sunan Kalijaga; „KA’bahe ojo laLI, JAwane dijaGA.“ (red: tetap menghadap Ka’bah dan menjalankan perintah Allah namun tetap tidak melupakan jati diri sebagai orang Jawa).

Bahagia sekali mendengar bahwa Sultan yang selalu mengenakan busana Jawa warna hitam-celana hitam, berkalung tasbih dan kepala dengan ikat ini, memiliki masa kecil yang bahagia, indah dan dekat dengan alam. Jiwa kepemimpinan sudah terlihat saat masa remaja. Tak ubahnya orang Jawa kuno lainnya, sultan yang telah memberi gelar kepada para tokoh masyarakat (seperti KRMH, Dr. Setyadji Pantjawidjaja Sosroningrat, dan masih banyak lagi) ini senang mengunjungi tempat yang menenangkan jiwa seperti gunung, makam para raja, bangsawan kerajaan demak dan masjid demak.

***

Sultan Demak yang masih tampak muda itu sudah banyak bertemu para raja dan sultan di tanah air (Demak, Bali, Palembang, Pajajaran) dan luar negeri (Malaysia, Singapura).

R. Sumito mendapat gelar Doktor Honoris Causa dan Rp 20.000.000 dari AIMSH (America Institut Manajemen Studi Hawai) atas jasa dan kepeduliannya melestarikan situs benda-benda pusaka kerajaan Demak Bintoro, khususnya apa yang telah dilakukan untuk Makam Astana Gedhong Kenep. Perjuangan ini tentu saja tidak mudah, sempat mengundang kontroversi (pembakaran makam tersebut).

Saya menghela nafas, silaturahim kelar. Saya meninggalkan gedung yang semakin sepi ditinggal tamu dan menyambangi vihara besar yang luar biasa indah ini. Masih banyak orang yang berdoa disana. Pssst. Saya tidak boleh berisik.

[caption id="attachment_287445" align="aligncenter" width="518" caption="Sampai jumpa, Sultan Demak!"]

13789136582134900145

[/caption]

Sebelum meninggalkan aula vihara Watugong, saya jepret kepergian beliau dengan mobil SUV warna hitamnya. Sopir diminta berhenti ditempat saya berdiri (depan vihara), beliau membukakaca jendela dan melambaikan tangan kepada saya.

Saya mengangguk, sedikit membungkuk dan mengatakan, „Ndherekaken.“ Saya turut mengantar dari jarak jauh. Beliau melaju pasti menuju balai Witono karaton Glagahwangi, Jln.Pangeran Demak No. 100, Demak, Jawa Tengah, Indonesia.(G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline