Internet. Barangkali itu salah satu yang bikin saya betah di Jerman. Internet joss yang termasuk murah, bisa dipilih sesuai kebutuhan. Tapi namanya manusia tak ada pernah ada kata puas. Sudah joss mau ngejoss lagi.
Nah, saya pernah melihat sebuah iklan bahwa pilihan paket internet ada yang baru. Akhirnya saya usul ke suami, bagaimana kalau mengganti paket internet yang jadi satu dengan telepon dan TV itu. Artinya dahulu yang dapat dua telepon (rumah) flat rate ditambah langganan TV (150 lebih) plus internet 50 MBit/s, saya ingin diganti dengan internet yang 120 MBit/s tapi channel TV (yang HD saja) tak usah banyak-banyak channelnya dan tentu saja 2 telepon rumah flat rate. Kami khususnya saya memang tak banyak waktu untuk nonton TV kecuali akhir pekan atau beberapa saat sebelum tidur. It’s an automatic lullaby.
***
Suatu hari ....
“Pak, tuh ada counternya ... coba tanya, bisa nggak ganti.“ Kebetulan kami yang sedang shopping lewat sebuah kantor cabang di sebuah mall kecil.
“Ya, coba tanya ... kamu jalan-jalan sama anak-anak dulu tapi jangan jauh-jauh nanti ilang ...“ Suami saya menuju counter yang hanya ditunggu satu orang mbak-mbak Jerman. Karena saya yakin lama, kami pun jalan-jalan di sekitar counter. Untung nggak nemu yang menarik, bisa nggesek kartu nanti. Kami pun kembali ke suami. Belum juga kelar. Kami duduk di lobby. Begitu melihat ada sudut ipad dan komputer, anak-anak menyerbunya. Tak tik tak tik ... ya, gitu.
Setengah jam kemudian beres. Horeee ... bisa, boleh! Si mbak sudah menghubungkan dengan teknisi pusat soal formalitas penggantian internet super joss, dengan membeli kartu TV baru 10€. Saya heran juga. Kok tidak pakai yang lama saja? Ah, mana tahu ibuk-ibuk ya? Sutralah.
Sebelum pulang, suami saya diberitahu bahwa dalam 10 hari, semua akan berfungsi seperti yang diinginkan. Untuk sementara masih versi lama, yang lambat.
***
Sepuluh hari kemudian, memang sudah berfungsi. Internet jos. Wee lah TV kenapa jadi tidak ada HD sama sekali? Gambar dengan kualitas biasa. Suami punya akal, mengganti dengan kabel baru yang khusus untuk HD (yang baru saja dibelinya). Walahhh karena tak ada tukang, mengerjakan sendiri ... masuk-keluar, masuk-keluar ... Tiga buah kabel panjang itu saya masukkan di sebuah pipa dari lantai dua ke lantai dasar. Lalu keluar lagi karena mbundhet atau macet di tengah jalan. Dan seterusnya. Suami yang di lantai dasar tarik-tarik.
“Yaaaa, teruusss. Teruuuuus ... “ Teriakannya dari lantai dasar bisa saya dengar samar-samar.
“Stopp ... stoppp ...“ Saya kasih aba-aba. Jiahhhh ... tangan dan muka saya hitam semua karena pipa ada di atas tungku, di bawah cerobong asap alias Kamin. Nasib. “Kenapa sih tadi masukin kabelnya muter-muter... harusnya lurus lebih mudah“ omelan saya dipasangi muka bersalah suami. Hahaha ... ya sudah. Sudah kelar.
Sip. Kabel sudah terpasang baru. Alamaaaaak, tetap saja tak bisa HD TV nya! Setelah telpon counter, teknisi sudah setting saluran TV di rumah kami HD, aneh kalau di TKP tidak sukses. Kami diberitahu akan datang teknisi yang akan memeriksa. Gratis.
***
Keesokan harinya, ada mas-mas datang, ia heran mengapa kami punya dua kartu. Satunya yang lama dan satunya yang baru. Padahal yang lama sudah HD, kok, tak perlu baru. Oalah, masss ... tanya sama petugas alias temannya sendiri (dan memang setelah ditelpon lagi satu minggu kemudian, kartu TV yang baru kami kembalikan dan uang 10€ balik di ATM pribadi).
Akhirnya diutek-uteklah TV dan kabel yang terpasang kemarin. Ajaib, bisa!
“Maaf, jasa teknisi memang gratis, tapi saya minta ganti 1,5€ untuk kotak kecil yang saya ambil dari mobil saya untukbapak.“
“Ini, 5€ nggak papa ... sisanya buat kamu.“ Suami kasih tip. Haha emang restoran kasih tip. Si mas pulang.
Eh, iya. Sebelum si mas pergi, saya sudah pergi duluan. Beberapa jam kemudian ....
“Buuuuk ....“
“Ya, Pak ... “ Lepas mengajar, saya dibukakan garasi dan pintu oleh suami. Penyambutannya dengan nada seperti mencari. Saya ikut teriak menjawabnya.
“Internet sudah, HD sudah ... tapinya ...“
“Ya, bagus tho....“ Ikut lega karena semua tak ada masalah.
“Tapinya ... channel pornonya hilang, bukkkk.“ Wajahnya yang biasa ramah jadi bermuram durja.
“Wahhhh, alhamdulillah ...“ Senang sekali dengan apa yang baru saja dia beritakan.
“Kok, alhamdulillah sih, buuuuk ... Jahaaaattt.“ Lelaki saya itu heran mengapa saya, istrinya, senang kalau tidak ada channel TV porno di TV kami. Dan saya pun tertawa. Haha ... kapok rak ke? Internet super joss-Okey, porn channel-no way. Setujuuuu?(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H