[caption id="attachment_407343" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/kompasiana(kompas.com)"][/caption]
Pihak taman kanak-kanak grupnya si ragil menempelkan sebuah kertas memo di rak. Di sana tertulis,“ Jangan lupa membawa dua cangkang telur untuk hasta karya.“
Yaaaahhhh ... saya lupa terus. Ibuk-ibuuuk! Untungnya begitu baca memo waktu mengantar anak sekolah, jemputnya langsung menyerahkan kepada sang guru. Dua buah cangkang telur. Beres!
Oh ya. Karena waktu di Indonesia tak pernah meniup telur, saya jadi tahu caranya menyiapkan cangkang telur tanpa isi. Pertama dilubangi bagian atas dan bawah telur dengan sebuah alat dapur tajam seperti paku. Selanjutnya, ditiup kuat-kuat dari salah satu lubang dan akan keluar dari lubang yang lain. Kadang berbentuk gumpalan. Plup! Lucu.
Seminggu kemudian, hasta karya sudah dibuat. Hmmm ... Rupanya tradisi mewarnai telur dan atau hasta karya lain yang menggunakan cangkang telur sudah jadi tradisi tahunan. Pra paskah, mau anak Indonesia, mau anak Rusia, mau anak Turki, mau anak Jerman ... semua yang sekolah di sekolah Jerman memang biasa diajari tradisi yang waktu jamannya suami saya kecil juga sudah ada.
Sedangkan acara mewarnai telurnya, dengan pewarna khusus untuk bahan makanan bukan pewarna pakaian seperti yang pernah saya dengar sering dipakai penjual jajanan anak-anak Indonesia. Aman.
[caption id="attachment_407259" align="aligncenter" width="437" caption="Telur paskah warna jreng dan coklat bentuk kelinci, haaammm!"]
[/caption]
Lantas, mengapa harus mewarnai telur sih?
Konon, dahulu orang Jerman yang beragama Katolik, memiliki tradisi menyembunyikan telur (rebus) paskah di kebun atau sekitar rumah. Telur di Jerman ada yang berwarna putih dan ada yang coklat (belum lagi dibagi atas apakah telurnya sehat karena ayamnya happy dilepas atau telur kurang sehat karena ayamnya stress di kandang yang full house).
Nah, suatu hari saat tiba waktunya untuk mencari telur. Turun salju. Telur tidak mudah untuk ditemukan, apalagi telur yang berwarna putih. Sayang kan kalau sampai tidak ketemu dan busuk tak dimakan? Karena warga menyadari hal ini, muncullah ide mewarnai telur, apalagi dengan warna jreng. Biar mencolok mata. Mau di atas rumput hijau, atau diatas salju, masih kelihatan. Mudah ditemukan.
Tadinya saya geleng kepala soal ini, waduuuh ... gagal paham. Begitu tahu bahwa di daerah kami, minggu ini saja sudah dua-tiga hari dihujani salju kecil, jadi mengangguk. Paskah putih bisa terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya. Musim semi bisa juga ada salju, ya? Jadi make sense kalau telur memang harus diwarnai. Selain babagan agar mudah ditemukan tadi, ini juga menjadi aktivitas yang menarik untuk anak-anak, media kreativitas yang jadi tradisi sebuah bangsa dan hidup jadi semakin berwarna. Kalau hanya ada hitam putih, apa kata duniaaaaaa? Hiyaaa....
Sekarang, saya ucapkan selamat hari paskah bagi Kompasianer yang merayakan, yang tidak merayakan semoga sempat kebagian coklat atau telur warna-warninya. Nyam-nyam, deh. (G76).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H