Lihat ke Halaman Asli

Gaganawati Stegmann

TERVERIFIKASI

Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Asyiknya Mengajar di SLB

Diperbarui: 4 April 2017   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1392117013523447053

Sekolah Luar Biasa atau disebut SLB, merupakan sebuah sekolah bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Meskipun sarana dan prasarananya ternyata kebanyakan masih seadanya alias tidak khusus dan kurang sempurna, para guru dan muridnya sangat bersemangat. Luar biasa!

Beruntung saya pernah beberapa kali menikmati masa mengajar di SLB di Semarang (di Jl. Supriyadi, Ungaran dan SLB Seroja). Semuanya saya jalani bersama para relawan dari dalam dan luar negeri. Sejak mengundurkan diri dari LSM dan pindah ke Jerman, kesempatan saya sangat berkurang. Beruntung saat sesekali mudik, saya masih boleh memasuki beberapa kelas, bertemu dengan guru dan murid dan sedikit mengajar. Amboi, rasanya!

[caption id="attachment_322008" align="aligncenter" width="614" caption="Guru SLB harus penuh cinta dan sabaaaarrr ..."][/caption]

[caption id="attachment_322016" align="aligncenter" width="492" caption="Pelajaran bahasa Jerman dimulai ...."]

13921175131055068813

[/caption]

***

Pukul 10 pagi. Matahari sudah begitu gagah menyinari. Hmm ... hangatnya. Kehangatan matahari yang amat jarang saya nikmati di Jerman. Sengatan yang hanya ada pada sekian hari dalam 3 bulan musim panas Jerman. Payung saya buka. Memayungi saya dan kedua bocah mungil yang memang sengaja saya bawa ke SLB dekat rumah. Agar mereka tahu bagaimana rasanya jadi anak dengan kebutuhan khusus. Supaya mereka semakin banyak bersyukur dan tetap ingin berbagi. Anak-anak kami memang dibesarkan di dunia yang serba indah, selalu teratur, banyak sejahtera daripada deritanya (atas peran pemda dan masyarakat) dan entah apalagi keistimewaan Jerman yang diberikan pada meraka.

Pintu saya ketuk. Guru membukakan pintu:

„Eeeeh ... ini ...“

„Gana, Bu ... masih ingat saya.“ Tangan saya menyalami para guru, satu-persatu. Kamipun berbincang di depan pintu. Anak-anak riuh, horeee ... gurunya hilang! „Hush-hush-hush“, guru memperingatkan mereka agar diam, „Ada tamu.“ Sengaja saya pilih ruangan yang memuat anak-anak TK /SD SLB C. Saya memang menyukai anak-anak dan dunianya. Dan saya kenal sekali dengan ibu-ibu yang menjadi pengajarnya. Kami sudah memulai kerjasama sejak saya memimpin sebuah LSM tahun 2000. Hari itu, pikiran saya benar, lebih mudah untuk masuk dan tak perlu tetek bengek prosedural yang memusingkan karena dahulu sudah ada sejarahnya.

Saya utarakan maksud saya, mengajar tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Jerman. Lagu, bendera, angka, kosa kata dan ... bermain! Nah, yang terakhir menjadi daya pikat tersendiri. Saya dipersilahkan.

Para ibu guru yang baik hati berikut seorang gadis muda PPL dari universitas negeri itu mendampingi saya dan mengingatkan bahwa untuk mengajar mereka harus sabar, dawa ususe. Sebelum memasuki sebuah SLB, saya sudah meraih akta IV mengajar, jadi sudah pernah mengajar anak-anak TK hingga universitas. Saya memahami kekhawatiran mereka. Karena SLB itu sekolah khusus, membutuhkan guru yang mendapat pendidikan dan training khusus. Saya tidak mendapatkannya waktu kuliah. Lihatlah. Ada beberapa anak yang tidak mau mendengarkan, ndableg dan sakkarepe dhewe, seenaknya sendiri bahkan tidur-tiduran di meja ... Saya mengangguk. Dan buktinya, saya senang bahwa kelas bisa saya kuasai. Kelas begitu berkobar! Rawe-rawe rantas malang-malang putung, maju terus pantang mundur. Gurunya yang harus pintar cari cara.

Tiga koper besar memang sengaja saya isi beragam souvenir. Tak perlu yang mahal, yang penting masih bagus kalau perlu masih baru, menarik dan tidak berbahaya. Bisa dari hadiah coklat, promo belanja atau sekedar sticker. Namanya anak-anak pasti senang dengan hal-hal baru. Ya. Hadiah untuk SLB sudah saya siapkan dan saya berikan jika anak-anak yang saya anggap pintar. Misalnya, jika saya tanya siapa yang berani maju dan mengulang apa yang baru saya ajarkan di papan tulis akan mendapatkannya. Sungguh, mengamati kegembiraan yang tercipta di wajah mereka ... luar biasa indahnya.

[caption id="attachment_322009" align="aligncenter" width="614" caption="Maju dulu, baru dapat hadiah, ya, Nak? Happyyyy ...."]

1392117069848267339

[/caption]

[caption id="attachment_322010" align="aligncenter" width="614" caption="Horeee, dapat mobil eh (alas bergambar) mobil!"]

13921171161400439583

[/caption]

[caption id="attachment_322011" align="aligncenter" width="614" caption="Kenal The Simpson?Tiru yang baik, buang yang buruk!"]

13921171601138588040

[/caption]

[caption id="attachment_322012" align="aligncenter" width="614" caption="Sandformchen, dipakai anak Jerman di musim panas (main pasir)"]

13921172101362067962

[/caption]

[caption id="attachment_322015" align="aligncenter" width="638" caption="Kalau di Indonesia, ini buat cetak agar-agar, Bu ... haha!"]

13921173161244754884

[/caption]

[caption id="attachment_322014" align="aligncenter" width="614" caption="Memilih hadiah,Kinderüberaschung dari coklat"]

1392117279338786568

[/caption]

Atau ketika ada yang iri karena tidak mendapat hadiah, mereka saya persilahkan untuk menunjukkan kebolehannya; menyanyi, berhitung, menggambar di papan tulis. Jadi! Kalau kamu mau pasti bisa. Sepertinya, mereka semangat dan mengerti bahwa seperti pepatah Jerman Ohne Fleiß kein Preis (tanpa melakukan sesuatu tidak akan mendapatkan sesuatu). Kami benar-benar sepakat dengan cara ini. Lagi-lagi, kebahagiaan itu terpancar dari mereka yang berseragam biru muda-biru tua itu. Yuhuuuu ....

Saya lirik anak-anak saya. Setiap kami pulang, pemandangan ini tidak asing bagi mereka tapi tetap saja mereka bengong ... lantaran cara berbicara, bersikap dan apa yang mereka lihat dari murid-murid SLB itu lain dari yang biasa mereka lihat di Jerman atau tempat umum lainnya. Iya, namanya juga sekolah khusus, Nak. Ini juga sebagai sebuah gambaran bagi anak-anak saya bahwa ketika anak-anak Indonesia seperti di SLB ini begitu menghargai pemberian sekecil dan sesederhana apapun, kegembiraannya tetap tingkat tinggi. Setinggi kebahagiaan anak-anak kami mendapat hadiah mahal dan bagus di Jerman! Ingat, itu.

Kasihan“, itu kata pertama yang muncul dari bidadari-bidadari kecil saya ketika kami meninggalkan halaman SLB yang sudah dipenuhi bapak/ibu bersepeda motor yang ingin menjemput anak-anak. Anak nomor dua malah mengatakan bahwa kalau dahulu, ia paling tidak rela berbagi mainan dengan mereka, tahun kemarin justru semakin menikmati membagikan hadiah untuk mereka. Sudah bisa ikhlas. Syukurlah, Nak.

Dari kata yang meluncur dari mulut anak saya tadi, saya ikut mengangguk. Iya, kasihan. Perlakuan, sarana dan prasana bagi mereka juga seharusnya khusus, spesial pakai telor. Sedangkan yang saya lihat; gedungnya banyak yang bocor, mejanya berubah warna, dindingnya berjamur dan retak-retak, jendelanya pecah ... jangan-jangan sebentar lagi ambruk!

Membandingkan dengan sekolah SLB di Jerman pastilah lebih jauh. Selain negeri modern dan maju, cara pandang pemerintah dan masyarakatnya berbeda. Selain mendapat support dana tiap bulan untuk sekolah dan kesehatan, mereka juga mendapat fasilitas sekolah yang baik dan khusus. Misalnya teman saya yang anaknya umur 25 mengalami cacat mental dan tidak bisa berjalan, hanya duduk sepanjang tahun. Untuk kebutuhan kursi roda dan tempat tidur yang khusus di rumah, ada suntikan dana yang lumayan. Ditambah betapa orang tuanya sangat sabar dan tabah merawat si anak. Mereka berujar, „Sampai nafas tak lagi berhembus ...“

Ah, sudahlah, ini Indonesia. Sepanjang anak-anak di SLB (berikut orang tuanya) itu masih senang dan bersyukur apapun yang mereka miliki, let it be. Meski saya yakin, para orang tua dari ABK yang saya temui, tidak mengambil uang dari pohon. Selamat pagi.(G76)

Ps: SLB yang saya kunjungi memiliki kelas TKLB B, SDLB B, SMPLB B, SMALB B, SMPLB C dan SMPLB C. Makna alfabetnya adalah; B mengacu pada tuna rungu, C dengan siswa tunagrahita, D untuk tunadaksa, E bagi tunalaras dan G untuk cacat ganda. Menurut wikipedia, anak yang memiliki kebutuhan khusus terdiri dari klasifikasi tersebut di atas, ditambah anak-anak yang kesulitan belajar, mengalami gangguan perilaku, anak berbakat dan anak dengan gangguan kesehatan. Semoga semakin banyak SLB negeri di seluruh pelosok negeri. Karena menurut catatan, di wilayah Jateng-DIY, baru Cilacap yang berani mewujudkannya. Ini penting, demi keadilan bagi seluruh anak Indonesia yang sehat jasmani rohani maupun mereka yang berkebutuhan khusus (ABK). Semoga.

Sumber:

1.Pengalaman pribadi

2.Anak berkebutuhan khusus




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline